BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perdagangan dewasa ini sangat pesat kemajuannya. Perkembangan tersebut
tidak hanya pada apa yang diperdagangkan tetapi juga pada tata cara dari perdagangan itu sendiri. Pada awalnya perdagangan dilakukan secara barter antara dua belah pihak yang langsung
bertemu dan bertatap muka yang kemudian
melakukan
suatu kesepakatan mengenai apa yang akan dipertukarkan
tanpa ada suatu perjanjian. Setelah ditemukannya alat pembayaran maka lambat laun barter berubah
menjadi kegiatan jual beli sehingga menimbulkan
perkembangan tata cara perdagangan. Tata cara perdagangan kemudian berkembang dengan adanya suatu
perjanjian diantara kedua belah pihak yang sepakat mengadakan suatu perjanjian
perdagangan yang
di dalam perjanjian tersebut mengatur mengenai apa hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak.
Seiring dengan perkembangan
ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, maka perdagangan yang pada awalnya dilakukan secara bertemu langsung dan bertatap muka
antar para pihaknya juga mengalami perubahan.
Perkembangan teknologi tersebut diantaranya adalah dengan ditemukannya internet yaitu teknologi yang memungkinkan kita
melakukan pertukaran informasi dengan siapapun dan dimanapun orang tersebut berada tanpa dibatasi oleh ruang
dan waktu. Perkembangan teknologi yang sangat
pesat
membawa
kemajuan pada hampir seluruh
aspek
kehidupan manusia.1 Salah satu
perkembangan
teknologi yang kita kenal adalah internet, yaitu teknologi yang memberikan kemudahan
komunikasi secara global dan memungkinkan manusia memperoleh serta saling bertukar
informasi dengan cepat.
1 Man Suparman
Sastrawidjaja, Perjanjian Baku Dalam Aktivitas Dunia Maya,
Cyberlaw: Suatu Pengantar, Cetakan I,
Teknologi internet telah membawa perubahan pada aktivitas manusia dalam upaya memenuhi segala kebutuhannya, karena melalui internet seseorang dapat melakukan berbagai macam kegiatan tidak hanya terbatas pada lingkup lokal atau nasional tetapi juga secara
global bahkan
internasional, sehingga kegiatan yang
dilakukan melalui internet ini
merupakan kegiatan yang tanpa batas, artinya seseorang dapat berhubungan dengan siapapun
yang berada di manapun dan kapanpun. Kegiatan internet tersebut berbasis virtual atau maya
yang tidak mengenal batas territorial.
Pada awalnya internet hanya dapat digunakan sebagai media pertukaran informasi di
lingkungan pendidikan (Perguruan Tinggi) dan lembaga penelitian.2 Baru pada tahun 1995-
lah internet mulai terbuka untuk masyarakat luas. Kemudian untuk lebih memudahkan masyarakat mengakses informasi
melalui internet,
Tim Berners-Lee mengembangkan aplikasi World Wide Web (www).3
Saat ini ruang lingkup internet telah mencakup hampir seluruh dunia. Pada tahun
1998
diperkirakan terdapat lebih dari seratus juta orang yang menggunakan internet dan pada tahun 1999 jumlah tersebut telah mencapai dua kali lipat. Data Monitor memperkirakan
pada tahun 2005 lebih dari 300 juta orang.4
Setelah internet terbuka bagi masyarakat luas, internet mulai digunakan juga untuk
kepentingan perdagangan. Setidaknya ada dua hal yang mendorong kegiatan perdagangan dalam kaitannya dengan kemajuan teknologi yaitu meningkatnya
permintaan atas produk- produk
teknologi itu
sendiri
dan kemudahan
untuk melakukan
transaksi
perdagangan.5
Dengan adanya internet maka kegiatan perdagangan dapat dilakukan secara elektronik, atau

2 Budi Rahardjo, Pernak Pernik Peraturan dan Pengaturan Cyberspace di Indonesia, www.budi.insan.co.id.
3 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyberlaw: Aspek Hukum Teknologi Informasi, Cetakan I, Bandung,
PT.
Refika Aditama, 2005, hal. 4. memiliki akses internet
4 Asril Sitompul, Hukum Internet (Pengenal Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace), Cetakan II, Bandung, PT.
Citra
Aditya Bakti, 2004, hal
vi.
5 Agus Raharjo, Cybercrime: Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, Cetakan I, Bandung, PT.
Citra Aditya Bakti,
2002, hal.1.
Pertumbuhan pengguna internet yang sangat pesat ini membuat internet menjadi media yang
sangat efektif untuk melaksanakan kegiatan perdagangan.
Kemajuan teknologi, khususnya
internet, pada satu sisi memberikan banyak
kemudahan
dan manfaat bagi manusia namun pada sisi lain juga menimbulkan permasalahan baru. E-commerce sebagai suatu bentuk perdagangan yang relatif baru juga tidak lepas dari masalah dalam pelaksanaannya. Permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan e-commerce
antara lain mengenai keabsahan kontrak dalam e-commerce (online-contract/econtract) serta
kekuatan pembuktian kontrak tersebut apabila terjadi sengketa. 6 Untuk mengatasi masalah
tersebut, beberapa negara telah membuat aturan hukum yang
berkaitan dengan e-commerce
dan e-contract. Misalnya Malaysia dengan Malaysia Digital Signature Act 1997,
Filipina dengan Philippines Ecommerce Act No. 8792 yang diundangkan pada tahun 2000, Singapura dengan The Electronic Act 1998,
dan Amerika dengan Electronic Signatures
in
Global and National Commerce Act (E-Sign Act) yang berlaku efektif mulai tanggal 1 Oktober 2000.
Pengaturan
mengenai perjanjian di Indonesia hanya mengatur hal-hal mengenai perjanjian pada umumnya, hal
tersebut
diatur dalam
Pasal 1320
Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata ( selanjutnya disingkat menjadi KUH Perdata) yang menyebutkan mengenai
syarat sah suatu perjanjian yang mengikat para pihaknya.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan syarat-syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Suatu
perjanjian dianggap sah apabila memenuhi syarat
subyektif
dan syarat obyektif. Pemenuhan atas syarat tersebut berakibat pada perjanjian yang telah dibuat menjadi
6 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op Cit, hal. 172-172.
sah. Perjanjian juga mengikat bagi para pihak mengenai hak dan kewajibannya, sehingga
pemenuhan syarat sahnya suatu perjanjian mutlak untuk dipenuhi, hal
ini kelak apabila
dikemudian hari terjadi suatu permasalahan atau sengketa maka penyelesaiannya
dapat didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati. 7
Syarat sah yang pertama adalah kesepakatan / konsensus yang diatur dalam Pasal
1320 ayat (1) KUH Perdata. Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataanya,
karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui
orang lain. Tujuan pembuatan perjanjian secara
tertulis adalah agar memberikan kepasatian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti
yang sempurna, dikala timbul sengketa dikemudian hari.
Pembuktian
dalam kontrak jual beli ini, dapat diartikan memberikan suatu kepastian
yang
bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang yang
melakukan perjanjian. Menurut
Pasal 164 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) yang disebutkan alat bukti terdiri dari:
1. Bukti surat;
2. Bukti saksi;
3. Persangkaan;
4. Pengakuan; dan
5. Sumpah.
Indonesia sampai saat ini telah memiliki peraturan hukum yang mengatur masalah keperdataan mengenai e-commerce dan e-contract. Indonesia membuat aturan hukum di bidang Teknologi Informasi yaitu dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ketentuan bahwa ada akta-akta otentik tertentu yang tidak dapat dibuat dalam bentuk elektronis. Pengakuan kontrak elektronik sebagai suatu
bentuk perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Indonesia
masih merupakan permasalahan yang
pelik. Pasal 1313 KUH Perdata mengenai definisi
perjanjian memang tidak menentukan bahwa suatu perjanjian harus dibuat secara tertulis.
Pasal 1313
KUH Perdata
hanya menyebutkan
bahwa
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
lain atau lebih. Jika mengacu pada definisi ini maka suatu kontrak
elektronik
dapat dianggap sebagai suatu
bentuk perjanjian yang memenuhi ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata tersebut.
Namun pada prakteknya suatu perjanjian biasanya ditafsirkan sebagai perjanjian yang
dituangkan dalam bentuk tertulis (paper-based)
dan bila perlu dituangkan dalam bentuk akta notaris. Selanjutnya, mengacu pada Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian barulah sah
jika
memenuhi syarat subyektif (ada kesepakatan antar para pihak dan para pihak cakap untuk membuat perjanjian)
dan
syarat obyekif (obyek
perjanjian harus jelas dan perjanjian dilakukan karena alasan yang halal). Dalam transaksi
konvensional di mana para pihak saling bertemu, tidak sulit untuk melihat apakah perjanjian yang
dibuat memenuhi syarat-syarat tersebut.
Permasalahan timbul dalam hal transaksi dilakukan tanpa adanya pertemuan antar
para pihak. Di samping itu, transaksi komersial elektronik sangat bergantung
pada
kepercayaan di antara para pihak. Ini terjadi karena dalam transaksi komersial elektronik para
pihak tidak melakukan interaksi secara fisik. Karena itu masalah pembuktian
jika
terjadi sengketa menjadi hal yang sangat penting.
Dalam hukum
acara perdata Indonesia dikenal ada
lima
macam alat bukti di mana surat/bukti
tulisan diletakkan pada urutan pertama. Yang dimaksud dengan surat di sini adalah surat yang ditandatangani
dan
berisi perbuatan hukum. Sedangkan surat yang dapat menjadi alat bukti yang kuat adalah surat yang dibuat oleh atau
dihadapan
notaris (akta otentik). Dari sini timbul permasalahan mengenai kekuatan
pembuktian kontrak elektronik jika terjadi sengketa antara para pihak.
Untuk mengatasi permasalahan yang berhubungan
dengan isu-isu hukum yang berkaitan dengan teknologi informasi dan transaksi elektronik Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU-ITE).
Sebelum UU-ITE ini muncul seringkali terdapat permasalahan hukum yang
berkaitan dengan penyampaian informasi
dan transaksi
elektronik. Permasalahan hukum yang
seringkali dihadapi adalah dalam hal pembuktian dan hal yang
terkait dengan perbuatan hukum
yang dilaksanakan melalui sistem elektronik. Yang
dimaksud dengan sistem
elektronik
adalah sistem komputer
dalam arti luas, yang
tidak hanya mencakup perangkat keras
dan perangkat lunak komputer,
tetapi juga menyangkut jaringan
telekomunikasi dan/atau sistem komunikasi elektronik. Perangkat lunak atau program komputer adalah
sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk
lain, yang apabila digabungkan
dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi khusus
atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi tersebut.
Sistem elektronik juga digunakan untuk menjelaskan keberadaan sistem informasi yang merupakan penerapan teknologi informasi yang berbasis jaringan telekomunikasi
dan media elektronik, yang berfungsi merancang, memproses, menganalisis, menampilkan dan mengirimkan atau menyebarkan
informasi elektronik. Sistem informasi
secara teknis dan manajemen sebenarnya adalah perwujudan
penerapan produk
teknologi informasi kedalam
suatu
bentuk
organisasi dan
manajemen sesuai
dengan
karakteristik kebutuhan pada
organisasi tersebut dan sesuai dengan tujuan peruntukannya.
Pada sisi lain, sistem informasi secara teknis dan fungsional adalah keterpaduan sistem antara manusia denga mesin yang mencakup komponen perangkat keras, perangkat
lunak, prosedur, sumber daya manusia, dan substansi informasi yanag dalam pemanfaatannya mencakup fungsi input, proses, ouput, storage, dan
komunikasi.
Sehubungan dengan hal itu, dunia hukum sebenarnya ssudah sejak lama memperluas
penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi
persoalan kebendaan yang tidak berwujud,
misalnya dalam kasus pencurian listrik sebagai perbuatan
pidana. Dalam kenyataan kegiatan
siber tidak lagi sederhana karena kegiatannya tidak lagi dibatasi oleh teritori suatu Negara,
yang
mudah
diakses kapanpun dan
darimanapun.
Kerugian
dapat terjadi
pada pelaku transaksi maupun pada orang
lain yang tidak pernah melakukan transaksi, mialnya pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet. Disamping itu, pembuktian
merupakan faktor yang sangat penting,
mengingat informasi elektronik bukan saja belum terakomodasi
dalam sistem hukum acara Indonesia secara komprehenssif,
melainkan juga ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan, dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu
hitungan detik.
Permasalahan yang lebih luas terjadi pada bidang
keperdataan karena transaksi
elektronik untuk
kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik (electronic commerce) telah menjadi bagian dari
perniagaan nasional
dan internasional. Kenyataan
ini menunjukkan bahwa konvergensi
di bidang teknologi informasi, media, dan informatika (telematika) berkembang terus tanpa dapat dibendung, seiring dengan ditemukannya perkembangan baru di
bidang teknologi informasi, media, dan komunikasi.
Kegiatan melalui
media sistem
elektronik,
yang disebut juga ruang siber
(cyber
space), meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum
yang nyata. Secara yuridis kegiatan pada ruang siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan
kualifikasi hukum konvensional
saja sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal yang lolos dari pemberlakuan hukum. Kegiatana dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik.
Dengan demikian, subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan
hukum
secara nyata. Dalam kegiatan e-commerce antara lain dikenal
adanya dokumen elektronik yang kedudukannya
disetarakan dengan dokumen yang dibuat
diatas kertas.
Berkaitan dengan hal itu, perlu diperhatikan sisi keamanan dan kepastian hukum dalam
pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi agar
dapat berkembang secara optimal. Oleh karena itu, terdapat tiga pendekatan
untuk menjaga keamanan di ruang
siber, yaitu pendekatan aspek hukum, aspek teknologi, aspek sosial budaya dan etika. Untuk mengatasi gangguan
keamanan dalam penyelenggaraan sistem secara elektronik, pendekatan
hukum bersifat
mutlak
karena tanpa kepastian hukum, persoalan pemanfaatan teknologi
informasi menjadi tidak optimal.
Berdasarkan
uraian di atas, maka penulis ingin mengetahui bagaimana keabsahan kontrak elektronik (e-contract/online-contract) dalam transaksi komersial elektronik (e-
commerce)
serta bagaimana kekuatan pembuktian suatu kontrak elektronik (e-contract) jika
terjadi sengketa, dengan mengambil judul :
" KEABSAHAN KONTRAK PERDAGANGAN
SECARA ELEKTRONIK (E-
COMMERCE) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI
DAN
TRANSAKSI ELEKTRONIK”.
1.2. Perumusan Masalah
Dalam suatu penelitian diperlukan adanya
perumusan masalah untuk mengidentifikasi persoalan yang diteliti sehingga
sasaran yang hendak dicapai menjadi jelas, tegas, terarah, serta tercapai sasaran yang diharapkan.
Dalam penelitian ini, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Kapan suatu kontrak
perdagangan
elektronik
(e-commerce)
dianggap sah
menurut
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?
2. Bagaimana kekuatan pembuktian suatu kontrak elektronik ( e-commerce)?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian disini
ialah penelitian berkenaan dengan maksud penulis melakukan
penelitian, terkait dengan perumusan masalah dan judul. Penulis
mempunyai tujuan atau hal- hal yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Tujuan itu berupa tujuan secara obyektif dan
tujuan secara subyektif. Adapun tujuan penelitian ini adalah :
a.
Untuk
mengetahui keabsahan
kontrak perdagangan
internet (e-commerce)
Undang-
undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
b.
Untuk mengetahui
bagaimana
kekuatan pembuktian
suatu
kontrak
elektronik
(e-
commerce).
1.4..
Manfaat Penelitian
Setiap peneltian selalu diharapkan dapat memberi manfaat pada berbagai pihak.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi mahasiswa, dosen, atau pembaca yang tertarik dalam Hukum
Perdata, khususnya Hukum Perjanjian.
b. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi sebagai bahan acuan bagi penelitian di masa
yang akan datang.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk memberikan jawaban atas masalah yang diteliti.
b. Untuk melatih mengembangkan
pola
pikir yang sistematis sekaligus untuk mengukur kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh.
c. Hasil penelitian ini
dapat digunakan sebagai sumbangan karya ilmiah dari
penulis dalam perkembangan Hukum Perdata dan bermanfaat menjadi referensi sebagai bahan
acuan peneliti yang lain dalam penelitian pada masa yang akan datang.
1.5. Metode Penelitian
Metode artinya adalah “jalan ke”, sedangkan penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan
dengan
analisis
dan konstruksi, yang dilakukan
secara metodologis,
sistematis, dan konsisten.8
Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan,
untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah, dan jenis yang dihadapi. Akan tetapi dengan
mengadakan klasifikasi yang berdasarkan
pada pengalaman, dapat ditentukan teratur dan terpikirkannya alur yang runtut dan baik untuk mencapai suatu maksud. Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan,
gejala atau hipotesa, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah.9 Dengan
demikian metode penelitian adalah jalan yang dilakukan berupa serangkaian kegiatan ilmiah
yang dilakukan secara metodologis,
sistematis, dan konsisten untuk memperoleh data yang
lengkap yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sehingga tujuan penelitian dapat
dicapai. Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian

8 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal 42
9 Bambang Sunggono, 2001, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 4
belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.
Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup :
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum b. Penelitian terhadap sistematik hukum
c. Penelitian terhadap taraf
sinkronisasi vertikal dan
horisontal
d. Perbandingan hukum
e. Sejarah hukum10
Dalam penelitian ini penulis
melakukan penelitian terhadap
asas-asas
hukum, sistematika hukum, serta sinkronisasi
vertikal atas dokumen yang diteliti terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan hukum ini adalah deskriptif, yaitu menggambarkan serta menguraikan semua data yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan yang berkaitan dengan judul penulisan hukum yang
secara jelas dan rinci kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan
yang diteliti.
3. Tahap Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap penelitian, yaitu:
1. Penelitian kepustakaan
Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Sumber data sekunder yang dipakai dalam penelitian ini meliputi:
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer
adalah
bahan-bahan hukum
yang mengikat. Dalam
hal ini
penulis menggunakan bahan hukum primer, yaitu:
1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

10 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal 34
3)
Rechtreglement Buitengewesten (RBg).
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti;
1) Undang-undang
2) Hasil karya ilmiah para sarjana
3) Hasil-hasil penelitian
Dalam hal ini penulis menggunakan, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik hasil karya ilmiah para sarjana yang berupa teori-teori dan juga hasil-hasil
penelitian.
c. Bahan hukum tersier atau penunjang
Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder, misalnya bahan dari media internet,
kamus,
ensiklopedia, indeks kumulatif,
dan sebagainya.
Dalam hal
ini penulis menggunakan bahan dari media internet, kamus, buku, artikel serta dari koran dan majalah.11
4. Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperlukan pada penelitian ini dikumpulkan melalui studi kepustakaan

11 Ibid, hal 45
1.6.
Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika
penulisan hukum adalah untuk
memberi
gambaran yang
jelas
dan komprehensif mengenai penulisan hukum ini, maka berikut ini kami sajikan sistematika:
BAB I Pendahuluan
Dalam bab ini disajikan tentang
latar belakang, pembatasan masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metode
penelitian secara sistematika penulisan hukum.
BAB II Pembahasan 1
Bab ini berisi hasil penelitian dan pembahasannya
mengenai transaksi
komersial elektronik dan mekanismenya
serta aspek hukum perjanjian dalam
pelaksanaan perdagangan melalui internet (e-commerce) beserta faktor
pendukung dan penghambat
pelaksanaan
perdagangan melalui internet (e-
commerce).
BAB III Pembahasan 2
Bab ini berisi hasil penelitian dan pembahasannya mengenai aspek hukum pembuktian perdata di Indonesia dan macam-macam
alat
buktiyang dapat menjadi penguat dalam kegiatan transaksi elektronik.
BAB IV Penutup
Berisi tentang kesimpulan dari apa yang
telah dibahas juga berisi saran-saran yang ditujukan
pada
pihak-pihak
yang
terkait dengan permasalahan penelitian
ini.
B A B IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai keabsahan kontrak dalam
transaksi komersial elektronik (e-commerce)
dan
kekuatan pembuktian suatu kontrak
elektronik (econtract) tersebut dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Menurut UU No. 11 Tahun 2008 mengenai Informasi dan Transaksi elektronik bahwa
suatu transaksi perdagangan elektronik (e-commerce)
dianggap sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai peraturan
perundangan yang berlaku dan informasi elektronik
tersebut dalam bentuk tertulis atau asli dimana informasi yang tercantum didalamnya
dapat dijamin keutuhannya, dipertanggungjawabkan,
diakses, ditampilkan, sehingga
menerangkan suatu keadaan. Sistem tersebut juga menggunakan
sistem elektronik yang
dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan perkembangan teknologi informasi.
2. Dalam perkara perdata yang dicari adalah kebenaran formal sehingga hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah yang telah diatur oleh undang-undang. Alat-alat bukti dalam
hukum pembuktian perdata yang berlaku di Indonesia adalah alat bukti surat/tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Dari sini timbul permasalahan mengenai kekuatan pembuktian kontrak elektronik jika terjadi sengketa
antara para pihak. Untuk mengatasi
permasalahan yang berhubungan dengan isu-isu hukum yang berkaitan dengan teknologi informasi dan transaksi elektronik Pemerintah Indonesia
telah menerbitkan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU-ITE).
4.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas maka dapat diajukan saran sebagai berikut:
1.
Untuk mengantisipasi semakin berkembangnya
transaksi
komersial
elektronik
(e-
commerce)
dan untuk menjamin kepastian hukum dalam transaksi komersial elektronik
(e-commerce) dan menindaklanjuti munculnya UU-ITE, Indonesia hendaknya segera membentuk/mengesahkan peraturan/hukum yang mengatur mengenai perlidungan terhadap konsumen
dalam transaksi e-commerce.
Selain
itu perlu
dibuat
peraturan
hukum mengenai cyberlaw termasuk di dalamnya ketentuan mengenai validitas kontrak
yang dilakukan secara elektronik sehingga ketentuan tentang transaksi e-commerce
dapat tertampung. Dengan pengaturan
tersebut, hak-hak konsumen sebagai pengguna
teknologi elektronik dalam proses perdagangan khususnya dalam melakukan transaksi e-commerce dapat lebih terjamin.
2. Melakukan sosialisasi mengenai transaksi komersial elektronik (e-commerce) kepada
masyarakat dan para penegak
hukum agar masyarakat dan para penegak
hukum memahami mekanisme dan permasalahan yang berkaitan dengan
transaksi
komersial
elektronik (e-commerce). Hal ini perlu dilakukan agar konsumen bertindak lebih cermat dan berhati-hati dalam
bertransaksi secara elektronik (transaski
e-commerce), guna
menghindarkan diri dari kerugian. Posting
iklan yang dilakukan oleh vendor di Internet
misalnya,
harus dicermati
dengan sungguh-sungguh oleh konsumen baik mengenai
penawaran,
promosi, serta
iklan suatu barang dan/atau jasa. Demikian pula mengenai
iklan harus diwaspadai, karena dimungkinkan adanya iklan yang mengelabui konsumen seperti misalnya memuat informasi yang
keliru, salah, atau tidak tepat, karena
tidak dapatnya
konsumen
melihat
langsung
produk barang
atau jasa
yang
ditawarkan. Indonesia juga sebaiknya melakukan kerjasama dengan negara-negara lain
mengingat bahwa transaksi
komersial
elektronik (e-commerce)
bersifat
borderless (tidak mengenal batas geografis).
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Asnawi, Haris Faulidi, Transaksi Bisnis E-Commerce Perspektif Islam,
Cetakan I, Magistra
Insania Press, Yogyakarta, 2004.
Effendie, Bachtiar; Tasmin, Masdari; dan Chodari, A., Surat Gugat dan Hukum Pembuktian
Dalam Perkara Perdata, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.
HS, Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cetakan kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
2003., Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak,
Cetakan I, Sinar Grafika,
Jakarta, 2003.
Kamal, Farizal F., Cyberbusiness,
Cetakan ke-3, P.T. Elex Media Komputindo, Jakarta, 1999. Makarim, Edmon, Kompilasi Hukum Telematika, Cetakan I, Edisi I, P.T. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2003.
Mansur, Dikdik M. Arief
dan Gultom, Elisatris,
Cyberlaw: Aspek
Hukum Teknologi
Informasi, Cetakan
I,
P.T. Refika Aditama, Bandung, 2005.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi kelima, Liberty, Yogyakarta.
Moh. Nazir, 1998,
Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Muh. Zainuddin,
1990,
Metodelogi
Penelitian,
Program Pascasarjana Univ.
Airlangga,
Surabaya.
Prodjodikoro, R. Wirjono, Azas-azas Hukum Perjanjian,
Mandar Maju, Bandung, 2000. Sanusi,
Arsyad
M.,
E-Commerce: Hukum dan
Solusinya, P.T.
Mizan Grafika Sarana,
Bandung, 2001.
Sitompul, Asril, Hukum Internet (Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace),
Cetakan II, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.
Smedinghoff, Thomas J, Online Law: The SPA’s Legal Guide to Doing Business on the
Internet, Addison-Wesley, USA, 1996.
Soejono dan Abdurrahman, H., Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2003. Sri Manudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, CV.Rajawali, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum,
UI Press, Jakarta.
Soentandyo Wignjosoebroto, Tahun
ke-1,
Nomor
2,1974,
Penelitian Hukum
:
Sebuah
Tipologi, Masyarakat Indonesia.
Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan 14, P.T. Internusa, Jakarta, 1992.
Makalah dan Artikel
Badrulzaman, Mariam Darus, Kerangka Dasar Hukum Perjanjian (Kontrak), dalam Seni
Dasar Hukum Ekonomi 5: Hukum
Kontrak di Indonesia, Edisi I, Jakarta,
Elips I, 1998.
Badrulzaman, Mariam Darus, E-Commerce: Tinjauan dari Hukum Kontrak Indonesia,
Hukum Bisnis, Vol. 12, 2001.
Kantaatmadja, Mieke Komar, Pengaturan Kontrak untuk Perdagangan Elektronik (e- Contract), dalam Seri Dasar Hukum Ekonomi 12 – Cyberlaw: Suatu Pengatar, Cetakan
I,
Jakarta, Elips II, 2002,
Sastrawidjaja, Man Suparman, Perjanjian Baku Dalam Aktivitas Dunia Maya, Cyberlaw:
Suatu Pengantar,
Cetakan
I,
Jakarta, Elips II, 2002.

Prof. Abu Bakar Munir, Data Protection Law, Too Little Too Late,
Public Lecture, Universitas Of Malaya, 2009
Undang-undang/Peraturan Hukum
UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce, 1998,
www.uncitral.org
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
HIR
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
No comments:
Post a Comment
moga bermanfaat ^,^