KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Tugas Makalah kami tentang “Sumber Hukum Administrasi
Negara” yang alhamdulillah tepat pada waktunya.
Kedua
kalinya saya ucapkan terima kasih terhadap dosen pembimbing kami kuliah Hukum
Administrasi negara . berkat arahan serta bimbingannya kami dapat menyelesaikan
tugas ini.
Tugas
ini berisikan tentang informasi mengenai pengertian Sumber Hukum Administrasi
Negara serta macam-macam Sumber Hukum Administrasi Negara.
Kami
menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna dan tidak terlepas dari
kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan tugas ini.
Diharapkan
Tugas ini dapat bermanfaat dalam memberikan informasi kepada kita semua tentang
Sumber Hukum Administrasi Negara serta mendapat ridho dari Allah SWT.
Mataram,
13 Oktober 2014
NURUL HAINI
D1A112220
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum
pada dasarnya menjadi acuan dalam mengatur segala permasalahan yang ada. Adapun
hukum ini digunakan tidak saja mengatur menyelesaikan permasalahan semata
tetapi juga menjadi acuan kehidupan dalam bermasyarakat. Pembuatan hukum dalam
hal ini membutuhkan bahan atau dengan kata lain membutuhkan sumber. Terkait
dengan sumber hukum yang menjadi pokok permasalahan yang diangkat dalam makalah
ini tidak dapat dikatakan sembarangan.
Sumber
hukum yang menjadi bahan hukum ini digali dari karakteristik bangsa Indonesia dan beberapa kontribusi hukum
dari bangsa penjajah. Adanya kontribusi ini tidak terlepas dari penjajahan yang
dilakukan oleh bangsa asing. Pada dasarnya pemilihan sumber acuan ini juga
telah dipirkan dengan matang antara lain sifatnya yang berusaha mengikuti
perkembangan zaman. Dengan adanya sumber hukum yang jelas sudah tentu hukum
yang dihasilkan juga menjadi berbobot. Sumber hukum administrasi negara pada
nantinya akan digunakan acuan dalam segala sesuatu terkait administrasi Negara.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Sumber Hukum?
2.
Apa saja sumber-sumber Hukum di
Indonesia?
a.
Sumber Hukum Materil
b.
Sumber Hukum Formil
3.
Apa saja Sumber-sumber Hukum
Administrasi Negara?
a. Sumber Hukum Materil
b. Sumber Hukum Formil
4.
Apa saja Asas Asas Dalam Hukum
Administrasi Negara.
C. Tujuan
1.
Mengetahui pengertian Sumber Hukum
2.
Mengetahui dan dapat membedakan antara
sumber hokum materil dan formil di Indonesia
3.
Mengetahui dan dapat membedakan
sumber-sumber Hukum Administrasi Negara.
4.
mengetahui dan dapat memahami asas asas
dalam Hukum Administrasi Negara.
D. Manfaat
1. Menambah wawasan mahasiswa mengenai Sumber
Hukum
2. Menambah wawasan mahasiswa mengenai
perbedaan sumber hukum secara umum dengan sumber hukum Administrasi Negara
BAB
II
SUMBER-SUMBER
HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
A.
Pengertian
Sumber Hukum
Sumber
ialah sesuatu yang dapat menimbulkan hal-hal baru yang merupakan manifestasi
dari sumber tersebut, oleh karenanya harus berorientasi pada sumber itu
sendiri.
Menurut
Danang Tunjung Laksono, Sumber Hukum adalah sesuatu yang menimbulkan aturan
hukum dan ditentukan aturan hukum itu. Menurut Prof. Soedikno ada beberapa arti
sumber hukum sebagai asas hukum, hukum terdahulu yang memberi bahan, dasar
berlakunya, tempat mengetahui hukum dan sebab yang menimbulkan hukum.
Zevenbergen
menyatakan sumber hukum adalah sumber terjadinya hukum; atau sumber yang
menimbulkan hukum.Sedangkan C.S.T. Kansil menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan sumber hukum ialah, segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang
mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau
dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.
Menurut
Achmad Ali sumber hukum adalah tempat di mana kita dapat menemukan hukum.Namun
perlu diketahui pula bahwa adakalanya sumber hukum juga sekaligus merupakan
hukum, contohnya putusan hakim. Berbagai pendapat ahli dapat disimpulkan bahwa
Sumber hukum ialah segala sesutau yang menyebabkan terjadinya hukum dengan
segala aturan-aturan hukumnya.
B. Sumber-Sumber Hukum di Indonesia
Sumber
hukum di Indonesia pada umumnya diklasifikasikan menjadi dua. Adapun
klasifikasi sumber hukum di Indonesia antara lain:
1. Sumber Hukum Materiil
Sumber hukum yang
menentukan isi kaidah hukum merupakan sumber hukum materiil. Isi kaidah hukum
ialah hal-hal konkrit yang sesuai dengan tindakan manusia yang seharusnya.
Sumber hukum dalam arti materiil menurut Utrecht adalah perasaan atau keyakinan
hukum individu dan masyarakat yang menjadi determinan materiil membentuk hukum
danmenentukan isi hukum. Faktor-faktor yang turut serta menentukan isi hukum
adalah faktor idiil dan faktor kemasyarakatan.Sumber-sumber hukum materiil
dapat ditinjau dari berbagai sudut misalnya dari sudut ekonomi, sejarah,
sosiologi, filsafat, dan sebagainya.
Sumber hukum materiil
merupakan faktor yang membantu pembentuk hukum misalnya hubungan sosial
politik, situasi sosial ekonomi, pandangan keagamaan dan kesusilaan hasil
penelitian ilmiah, perkembangan internasional, keadaan geografis. Sumber hukum
Materiil umumnya ialah pancasila, karena pancasila merupakan sumber hukum
tertinggi yang menjadi sumber hukum positif lainnya. Dalam sumber hukum
materiil terdapat faktor-faktor yang dijadikan dasar untuk menentukan isi hukum
materiil antara lain :
a. Sejarah, Undang-undang atau peraturan
–peraturan masa lalu yang dianggap baik dapat dijadikan bahan untuk
membuatUndang-Undang dan dapat diberlakukan sebagai hokum positif.
b. Sosiologi/Antropologi Budaya, yang
menjadi sumber hokum adalah masyarakat seluruhnya. Objek yang ditinjau adalah
lembaga-lembaga social masyarakat. Menurut ahli sosiologi, kegiatan-kegiatan
yang terjadi dalam masyarakat dapat dijadikan bahan membuat hokum positif,
misalnya kegiatan ekonomi.
c. Filsafat, ukuran untuk menentukan aturan
yang bersifat adil atau tidak dan sejauh mana aturan ditaati oleh warga
masyarakat.
2. Sumber Hukum Formil
Sumber hukum formil
ialah kaidah hukum yang dilihat dari segi bentuk, dengan diberi suatu bentuk
melalui suatu proses tertentu, maka kaidah ituakan berlaku umum dan mengikat
seluruh warga masyarakat dan ditaati oleh warga masyarakat. Di Indonesia sumber
hokum formil diatur dalam ketetapan MPRS No.XX/MPR/1966.
Sumber Hukum formil
merupakan suatu sumber yang menyebabkan (menjadi causa efficiens) kaidah hukum
yang berlaku.Sumber hokum formil berbentuk:
1.
Undang-Undang
2.
Kebiasaan
3.
Jurisprudensi
4.
Pendapat ahli hukum yang terkenal
(Doktrin)
5.
Traktat
C. Sumber-Sumber Administrasi Negara
Hukum
Administrasi Negara merupakan salah satu aspek dari ilmu hukum, maka pengertian
sumber hukum pada umumnya berlaku pula pada pengertian sumber HAN, karena HAN
erat sekali hubungannya dengan politik hukum Negara, yang berarti pengaruh
Negara sangat besar terhadap timbul, berubah serta hapusnya HAN. Suber
administrasi Negara dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Sumber Materiil
Sumber Materiil yaitu
sumber hukum yang turut menentukan isi
kaidah hukum. Sumber hukum material ini berasal dari peristiwa-peristiwa dalam
pergaulan masyarakat dan peristiwa-peristiwa itu dapat mempengaruhi bahkan
menentukan sikap masyarakat. Sumber hukum materiil dari HAN meliputi
faktor-faktor yang ikut mempengaruhi materi (isi) dari aturan-aturan HAN. Faktor yang mempengaruhi isi HAN yaitu
meliputi faktor Historis, Filosofis,
Sosiologis, Antropologis, Ekonomis, Agama dll. Sumber hukum materiil umum
dengan sumber hukum materiil HAN pada
dasarnya sama yaitu Pancasila. Jadi semua sumber hukum positif yang ada di
Indonesia bersumber pada isi dan jiwa Pancasila. Sumber hukum materiil adalah
sumber hukum dapat dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi isi dari suatu
hukum. Sumber Hukum Materiil
Faktor-faktor yang ikut
mempengaruhi isi dari aturan hukum adalah historik, filosofik dan sosiologis/
antropologis.
a. Sumber
Hukum Historik (Sejarah)
Dalam
arti sejarah istilah sumber hukum mempunyai dua makna:
® Sebagai
sumber pengenal dari hukum yang berlaku pada suatu saat tertentu.
® Sebagai
sumber tempat asal pembuat undang-undang menggalinya dalam penyusunan suatu
aturan menurut undang-undang.
Sumber hukum dari sudut
historik ini yang paling relevan adalah undang-undang dan sistem hukum tertulis
di masa lampau sebab undang-undang dan sistem hukum tertulis itulah yang
merupakan hukum yang betul-betul berlaku, sedangkan dokumen dan surat-surat
keterangan hanya bersifat mengenalkan hukum yang berlaku di masa lampau.
b. Sumber
Sosiologis/ Antropologis
Berdasarkan
pada sosiologi/ antropologis ditegaskan bahwa sumber hukum materiil adalah
seluruh masyarakat. Sudut ini menyoroti lembaga-lembaga sosial sehingga dapat
diketahui apakah yang dirasakan sebagi hukum oleh lembaga-lembaga tersebut. Dan
dari pengetahuan itulah dapat dibuat materi hukum yang sesuai dengan kenyataan
sosiologisnya. Dapat juga dikatakan bahwa dari sudut sosiologis/ antropologis
ini yang dimaksud dengan sumber hukum adalah faktor-faktor dalam masyarakat
yang ikut menentukan hukum positif, faktor-faktor mana meliputi pandangan
ekonomi, agamis dan psikologis.
c. Sumber
Filosofis
Dari sudut filsafat ada
dua masalah penting yang dapat menjadi sumber hukum, yaitu:
® Ukuran
untuk menentukan bahwa sesuatu itu bersifat adil. Karena hukum itu dimaksudkan,
antara lain untuk menciptakan keadilan maka hal-hal yang secara filosofis
dianggap adil dijadikan juga sumber hukum materiil.
® Faktor-faktor
yang mendorong seseorang mau tunduk pada hukum. Hukum itu diciptakan agar
ditaati, oleh sebab itu semua faktor yang dapat mendorong seseorang taat pada
hukum harus diperhatikan dalam pembuatan aturan hukum positif.
2. Sumber Formil
Sumber hukum formil
adalah sumber hukum yang berasal dari aturan-aturan hukum yang sudahmempunyai
bentuk sebagai pernyataan berlakunya hukum atau bentuk dimana kita dapat
menemukan hukumpositif. Sumber-sumber
hukum formal Administrasi Negara ialah :
a. Undang-Undang
Yaitu peraturan
tertulis yang dibuat oleh alat perlengkapan Negara, dan tercantum dalam
peraturan perundang-undangan. Menurut BUYS, undang-undang ini mempunyai dua
arti yakni:
Undang-Undang dalam
arti formil, yaitu setiap keputusan yang merupakan undang-undang karena
cara pembuatannya. Di Indonesia UU dalam arti formil ditetapkan oleh presiden
bersama-sama DPR, contoh UUPA, UU tentang APBN, dll.
Undang-Undang dalam
arti materiil, yaitu setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya
mengikat langsung setiap penduduk. Contoh: UUPA ditinjau dari segi kekuatan
mengikatnya undang-undang ini mengikat setiap WNI di bidang agraria.
Berdasarkan
amandemen pertama UUD 1945 pada Pasal 5 ayat 1 ditegaskan bahwa “Presiden
berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Kemudian dalam Pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat
memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Dan selanjutnya berdasarkan Pasal
20 ayat 2 disebutkan bahwa “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”.
Dengan
adanya perubahan UUD 1945 tersebut maka kedudukan DPR jelas merupakan lembaga
pemegang kekuasaan legislatif, sedangkan fungsi inisiatif di bidang legislasi
yang dimiliki oleh Presiden tidak menempatkan Presiden sebagai pemegang
kekuasaan utama di bidang ini. Perubahan ini sekaligus menegaskan bahwa UUD
1945 dengan sungguh-sungguh menerapkan sistem pemisahan kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudikati dimana sebelumnya fungsi legislatif dan eksekutif tidak
dipisahkan secara tegas dan masih bersifat tumpang tindih.
Bentuk
hukum peraturan daerah Propinsi, Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa, sama-sama
merupakan bentuk peraturan yang proses pembentukannya melibatkan peran wakil
rakyat dan kepala pemerintahan yang bersangkutan. Khusus untuk tingkat desa,
meskipun tidak terdapat lembaga parlemen sebagaimana mestinya, sebagaimana
diatur dalam Pasal 209 dan 210 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, dibentuk Badan Permusyawaratan Desa, dimana ditegaskan bahwa “Badan
Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa,
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat”.
Untuk
melaksanakan peraturan perundangan yang melibatkan peran para wakil rakyat
tersebut, maka kepala pemerintahan yang bersangkutan juga perlu diberi wewenang
untuk membuat peraturan-peraturan yang bersifat pelaksanaan. Karena itu
selain UU, Presiden juga berwenang mengeluarkan Peraturan Pemerintah dan
Peraturan Presiden. Demikian pula Gubernur, Bupati, Walikota, dan Kepala Desa,
selain bersama-sama para wakil rakyat membentuk peraturan daerah dan peraturan
desa, juga berwenang mengeluarkan peraturan kepala daerah sebagai pelaksanaan
terhadap peraturan yang lebih tinggi tersebut.
Undang-undang ialah
suatu kekuatan negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan
dipelihara oleh penguasa negara. Undang-undang menjadi sumber dasar bagi
ketentuan-ketentuan hukum yang ada. Undang-undang dalam arti formil disebut
juga dengan undang-undang dalam arti sempit yaitu setiap peraturan atau
ketetapan yang dibentuk oleh alat perlengkapan Negara yang diberi kekuasaan
utuk membentuk Undang-undang. Undang-undang dalam arti materiil atau disebut
juga dengan undang-undang dalam arti luas ialah setiap peraturan ketetapan yang
isinya berlaku mengikat kepada umum (setiap orang).
Perundang-undangan terbagi menjadi dua yaitu :
1) Perundang-undangan pusat, yaitu peraturan
perundangan yang dibuat oleh lembaga atau badan pemerintah pusat. Seperti: UUD
1945, TAP MPR, Undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, dan
sebagainya.
2) Peraturan perundangan pemerintah, yaitu:
peraturan perundangan yang dibuat oleh lembaga pemerintah daerah, seperti:,
peraturan gubernur, peraturan bupati, dan sebagainya.
Tata
urutan peraturan perundang undangan:
Menurut Tap MPRS XX
Tahun 1966 tentang Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong mengenai
sumber tertib Hukum RI dan tata urut perundangan Republik Indonesia adalah
sebagai berikut:
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR
3. Undang-Undang/Perpu
4. Peraturan Pemerintah
5. keputusan Presiden
6. Peraturan Menteri
7. Instruksi Menteri
Untuk menata kembali struktur dan
hirarki peraturan perundang-undangan tersebut, berdasarkan Tap MPR RI No. III
tahun 2000 disusun suatu struktur baru peraturan perundang-undangan dengan
urutan sebagai berikut:
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR
3. Undang-Undang (UU)
4. Perpu
4. Peraturan Pemerintah
(PP)
5. Keputusan Presiden
(Keppres)
6. Peraturan Daerah
(Perda)
Dan
terakhir berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang berisi hirarkhi
perundang-undangan, maka urutan peraturan perundangan RI adalah sebagai
berikut:
1. UUD 1945
2. Undang-undang
(UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah:
a. Peraturan Daerah Propinsi dibuat oleh
DPRD Propinsi bersama dengan gubernur
b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat
oleh DPRD Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota
c. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat,
dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama.
Sebelum dikeluarkannya UU No. 10 Tahun
2004 tersebut, tata urut dan penamaan bentuk-bentuk peraturan mengalami banyak
kerancuan. Sebagai contoh adalah di beberapa kementerian, digunakan istilah
Peraturan Menteri tetapi di beberapa kementerian lainnya digunakan istilah
Keputusan Menteri, padahal jelas-jelas isinya memuat materi-materi yang
mengatur kepentingan publik seperti di lingkungan Departemen Pendidikan
Nasional yang mengatur mengenai penyelenggaraan pendidikan nasional, dan
sebagainya. Disamping itu untuk mengatur
secara bersama berkenaan dengan materi-materi yang bersifat lintas departemen,
berkembang pula kebiasaan menerbitkan Keputusan Bersama antar Menteri, atau
peraturan dalam bentuk Surat Edaran, padahal bentuk keputusan bersama dan surat
edaran itu jelas tidak ada dasar hukumnya. Kemudian mengenai Ketetapan MPR,
apakah ketetapan MPR itu termasuk peraturan atau bukan, karena isinya sering
sama dengan Keputusan Presiden yang hanya bersifat penetapan biasa.
Keluarnya UU No. 10 Tahun 2004 itu
sebenarnya merupakan upaya penyempurnaan dalam rangka penataan kembali sumber
tertib hukum dan bentuk-bentuk serta tata urut peraturan perundang-undangan
Republik Indonesia di masa yang akan datang
b. Praktik Administrasi Negara (kebiasaan)
Yaitu
perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama.
Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu
selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang
berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum,
maka dengan demikian timbulah suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup
dipandang sebagai hukum.
Sudikno (1986:82)
menguraikan bahwa kebiasaan merupakan tindakan menurut pola tingkah laku yang
tetap, ajeg, lazim, normal atau adat dalam masyarakat atau pergaulan hidup
tertentu. Perilaku yang tetap atau ajeg ini berarti merupakan perilaku manusia
yang diulang, dimana perilaku yang diulang itu mempunyai kekuatan normatif, dan
mempunyai kekuatan mengikat. Karena diulang oleh orang banyak maka mengikat
orang-orang lain untuk melakukan hal yang sama, karenanya menimbulkan keyakinan
atau kesadaran bahwa hal itu memang patut dilakukan. Yang menjadikan tingkah
laku itu kebiasaan atau adat adalah kepatutan dan bukan semata-mata unsur
terulangnya atau ajegnya tingkah laku. Karena dirasakan patut inilah maka lalu
diulang, dan patut tidaknya suatu tingkah laku tadi bukan karena pendapat
seseorang tetapi pendapat masyarakat
Hukum kebiasaan sering
disebut hukum adat. Kebiasaan (hukum adat) adalah sebagai hukum yang tertua,
sifat peraturannya sesuai dengan sifat lingkungan masyarakatnya itu sendiri.
Sudikno menyatakan bahwa kebiasaan merupakan tindakan menurut pola tingkah laku
yang tetap, ajeg, lazim, normal atau adat dalam masyarakat atau pergaulan hidup
tertentu. Perilaku yang tetap atau ajeg ini berarti merupakan perilaku manusia
yang diulang, dimana perilaku yang diulang itu mempunyai kekuatan normatif, dan
mempunyai kekuatan yang mengikat.
Kebiasaan
dan Adat istiadat hidup dan berkembang di masyarakat sehingga kekuatan
berlakunya terbatas pada masyarakat. Perbedaan prinsipil antara hukum kebiasaan
dan hukum adat yaitu Hukum kebiasaan seluruhnya tidak tertulis sedangkan hukum
adat, ada yang tertulis dan ada yang tidak dan hukum kebiasaan berasal dari
kontrak sosial sedangkan hukum dapat berasal dari kehendak nenek moyang, agama
dan tradisi masyrakat.
Tidak
semua kebiasaan itu mengandung hukum yang baik dan adil. Oleh karena itu belum
tentu suatu kebiasaan atau adat istiadat itu pasti menjadi sumber hukum. Hanya
kebiasan-kebiasaan dan adat istiadat yang baik dan diterima masyarakat yang
sesuai dengan kepribadian masyarakat tersebutlah yang kemudian berkembang
menjadi hukum kebiasaan. Sebaliknya ada kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik dan
ditolak oleh masyarakat, dan ini tentunya tidak akan menjadi hukum kebiasaan
masyarakat, sebagai contoh: kebiasaan begadang, berpakaian seronok, dan
sebagainya.
Sudikno menyebutkan
bahwa untuk timbulnya kebiasaan diperlukan beberapa syarat tertentu yaitu :
1) Syarat materiil
Adanya perbuatan
tingkah laku yang dilakukan secara berulang-ulang (longa et invetarata
consuetindo).
2) Syarat intelektual
Adanya keyakinan hukum
dari masyarakat yang bersangkutan (opinio necessitatis).
3) Syarat akibat hukum apabila hukum itu
dilanggar
Utrecht
(1966:120-122), menyebutkan bahwa: “Hukum kebiasaan ialah kaidah-kaidah yang
biarpun tidak ditentukan oleh badan-badan perundang-undangan –dalam suasana
“werkelijkheid” (kenyataan) ditaati juga, karena orang sanggup menerima
kaidah-kaidah itu sebagai hukum dan telah ternyata kaidah-kaidah tersebut
dipertahankan oleh penguasa-penguasa masyarakat lain yang tidak termasuk
lingkungan badan-badan perundang-undangan. Dengan demikian hukum kebiasaan itu
kaidah yang – biarpun tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan- masih
juga sama kuatnya dengan hukum tertulis. Apalagi bilamana kaidah tersebut
menerima perhatian dari pihak pemerintah”.
Di Indonesia kebiasaan
itu diatur dalam beberapa undang-undang yaitu antara lain:
Pasal 1339 KUHPerdata
disebutkan bahwa “Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan
tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjiannya diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.
Pasal 1346 KUHPerdata
disebutkan bahwa “Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang
menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat persetujuan telah dibuat”.
Selanjutnya dalam Pasal
1571 KUHPerdata juga disebutkan bahwa: “Jika perjanjian sewa menyewa tidak
dibuat dengan tertulis, maka perjanjian sewa menyewa tidak berakhir pada waktu
yang ditentukan, melainkan jika pihak yang satu memberitahukan kepada pihak
lain bahwa ia hendak menghentikan perjanjian dengan mengindahkan tenggang waktu
yang diharuskan menurut kebiasaan setempat”.
Mengenai praktek
administrasi negara sebagai sumber hukum formil, dapat dikatakan bahwa praktek
itu membentuk hukum administrasi negara kebiasaan (hukum tidak tertulis). Hukum
administrasi negara kebiasaan tersebut dibentuk dan dipertahankan dalam
keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara. Sebagai suatu sumber
hukum formil, maka sering sekali praktek administrasi negara itu berdiri
sendiri
c. Jurisprudensi
Jurisprudensi adalah
keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan adanya
keputusan hakim dapat menimbulkan hukum positif pada mereka yang bersangkutan
yakni timbulnya, barubahnya atau hapusnya hak dan kewajiban baru bagi
masing-masing pihak, yang dapat membentu HAN ialah keputusan hakim administrasi
ataupun hakim umum yang memutus dalam perkara dalam administrasi Negara.
Jurisprudensi ialah
Keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan
oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama. Keputusan hakim yang berisikan
suatu peraturan sendiri sesuai pasal 22 A.B. menjadi dasar keputusan hakim
lainnya /kemudiannya untuk mengadili perkara yang serupa dan keputusan hakim
tersebut kemudian menjadi sumber hukum keadilan. Keputusan hakim demikian yang
disebut hukum jurisprudensi.
Purnadi Purbacaraka
menyebutkan bahwa istilah Yurisprudensi berasal dari kata yurisprudentia(bahasa
latin) yang berarti pengetahuan hukum (rechtsgeleerdheid). Kata
yurisprudensi sebagai istilah teknis Indonesia sama artinya dengan kata
“yurisprudentie” dalam bahasa Perancis, yaitu peradilan tetap atau bukan
peradilan. Kata yurisprudensi dalam bahasa Inggris berarti teori ilmu hukum
(algemeene rechtsleer: General theory of law), sedangkan untuk pengertian
yurisprudensi dipergunakan istilah-istilahCase Law atau Judge Made
Law. Dari segi praktek peradilan yurisprudensi adalah keputusan hakim yang
selalu dijadikan pedoman hakim lain dalam memutuskan kasus-kasus yang sama.
Beberapa alasan seorang
hakim mempergunakan putusan hakim yang lain (yurisprudensi) yaitu:
a. Pertimbangan
Psikologis
Hal ini biasanya
terutama pada keputusan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, maka
biasanya dalam hal untuk kasus-kasus yang sama hakim di bawahnya secara
psikologis segan jika tidak mengikuti keputusan hakim di atasnya tersebut.
b. Pertimbangan
Praktis
Pertimbangan praktis
ini biasanya didasarkan karena dalam suatu kasus yang sudah pernah dijatuhkan
putusan oleh hakim terdahulu apalagi sudah diperkuat atau dibenarkan oleh
pengadilan tinggi atau MA maka akan lebih praktis apabila hakim berikutnya
memberikan putusan yang sama pula. Di samping itu apabila keputusan hakim yang
tingkatannya lebih rendah memberi keputusan yang menyimpang atau berbeda dari
keputusan yang lebih tinggi untuk kasus yang sama, maka keputusan tersebut
biasanya tentu tidak dibenarkan/dikalahkan pada waktu putusan itu dimintakan
banding atau kasasi.
c. Pendapat
Yang sama
Pendapat yang sama
biasanya terjadi karena hakim yang bersangkutan sependapat dengan keputusan
hakim lain yang terlebih dahulu untuk kasus yang serupa atau sama.
d. Anggapan
para ahli HAN (Doktrin)
Doktrin ialah pendapat
para pakar dalam bidangnya masing-masing yang mempunyai pengaruh. Pendapat yang
dikemukakan ini sering dipergunakan sebagai sumber dalam pengambilan keputusan,
terutama oleh para hakim. Doktrin digunakan untuk mengambil keputusan karena doktrin
merupakam pendapat para sarjana hukum yang terkemuka dimana pendapat tersebut
sangat besar pengaruhnya dalam keputusan yang diambil maupun dalam sumber
hukum.
Doktrin merupakan
pendapat para ahli hukum. Pendapat para ahli hukum dapat melahirkan teori-teori
dalam lapangan hukum administrasi yang kemudian dapat dijadikan dasar timbulnya
kaidah-kaidah hukum dalam Hukum Admnistrasi Negara (HAN). Doktrin bukan hanya
berlaku dalam pergaulan hukum nasional, melainkan juga dalam pergaulan hukum
internasional, bahkan doktrin merupakan sumber hukum yang paling penting
Anggapan atau pendapat
para ahli HAN merupakan sumber faktuil dari HAN, akan tetapi berbeda dengan
peraturan perundangan ataupun jurisprudensi. Peraturan perundangan bila sudang
diundangkan langsung bersifat mengikat terhadap alat administrasi Negara maupun
warganegara. Keputusan Hakim ( Jurisprudensi ) mempunyai kekuatan tetap
mengikat terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Sedangkan anggapan para ahli
HAN, untuk menjadi sumber HAN, memerlukan proses yang lama.
Peraturan-peraturan
perundang-undangan merupakan bagian terbesar dari hukum administrasi Negara.
tetapi baik di Indonesia maupun di Belanda belum dibuat suatu kodifikasi
(system tertulis) hukum admnistrasi Negara, seperti telah ada kodifiksai hukum
privat (KUHP dan KUHD) dan hukum pidana.
e. Traktat
Yaitu perjanjian antar
negara/perjanjian internasional/perjanjian yang dilakukan oleh dua negara atau
lebih. Akibat perjanjian ini ialah bahwa pihak-pihak yang bersangkutan terikat
pada perjanjian yang mereka adakan itu. Hal ini disebut Pacta Sun
Servada yang berarti bahwa perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakan
atau setiap perjanjian harus ditaati dan ditepati oleh kedua belah pihak.
Ada beberapa macam
traktat (treaty) yaitu:
a.
Traktat bilateral atau traktat
binasional atau twee zijdig
Yaitu apabila
perjanjian dilakukan oleh dua negara. Contoh: Traktat antara pemerintah
Indonesia dengan Pemerintah Malaysia tentang Perjanjian ekstradisi menyangkut
kejahatan kriminal biasa dan kejahatan politik.
b.
Traktat Multilateral
Yaitu perjanjian yang
dilakukan oleh banyak negara. Contoh: Perjanjian kerjasama beberapa negara di
bidang pertahanan dan ideologi seperti NATO.
c.
Traktat Kolektif atau traktat Terbuka
Yaitu perjanjian yang
dilakukan oleh oleh beberapa negara atau multilateral yang kemudian terbuka
untuk negara lain terikat pada perjanjian tersebut. Contoh: Perjanjian dalam
PBB dimana negara lain, terbuka untuk ikut menjadi anggota PBB yang terikat
pada perjanjian yang ditetapkan oleh PBB tersebut.
Adapun pelaksanaan
pembuatan traktat tersebut dilakukan dalam beberapa tahap dimana setiap negara
mungkin saja berbeda, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
1. Tahap
Perundingan
Tahap ini merupakan
tahap yang paling awal biasa dilakukan oleh negara-negara yang akan mengadakan
perjanjian. Perundingan dapat dilakukan secara lisan atau tertulis atau melalui
teknologi informasi lainnya. Perundingan juga dapat dilakukan dengan melalui
utusan masing-masing negara untuk bertemu dan berunding baik melalui suatu
konferensi, kongres, muktamar atau sidang.
2. Tahap
Penutupan
Tahap penutupan
biasanya apabila tahap perundingan telah tercapai kata sepakat atau
persetujuan, maka perundingan ditutup dengan suatu naskah dalam bentuk teks
tertulis yang dikenal dengan istilah “Piagam Hasil Perundingan” atau
“Sluitings-Oorkonde”. Piagam penutupan ini ditandatangani oleh masing-masing
utusan negara yang mengadakan perjanjian.
3. Tahap
Pengesahan atau ratifikasi
Persetujuan piagam
hasil perundingan tersebut kemudian oleh masing-masing negara (biasanya tiap
negara menerapkan mekanisme yang berbeda) untuk dimintakan persetujuan oleh
lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan untuk itu.
4. Tahap
Pertukaran Piagam
Pertukaran piagam atau peletakkan
piagam dalam perjanjian bilateral maka naskah piagam yang telah diratifikasi
atau telah disahkan oleh negara masing-masing dipertukarkan antara kedua negara
yang bersangkutan. Sedangkan dalam traktat kolektif atau terbuka peletakkan
naskah piagam tersebut diganti dengan peletakkan surat-surat piagam yang telah
disahkan masing-masing negara itu, dalam dua kemungkinan yaitu disimpan oleh
salah satu negara berdasarkan persetujuan bersama yang sebelumnya dinyatakan
dalam traktat atau disimpan dalam arsip markas besar PBB yaitu pada Sekretaris
Jenderal PBB.
D.
Asas-Asas Sistem Hukum Adminisrasi Negara
Sisem
Hukum Administrasi Negara harus dapat menjamin dan menjalankan pelaksanaan
asas-asas hukum sebagai berikut:
1.
Asas-asas pancasila, dan Undang-undang
dasar 1945
2.
Asas-asas Wawasan Nusantara
3.
Asas-asas Ketahanan Nasional
4.
Asas-asas Kedaulatan Negara
5.
Asas-asas Negara Hukum
6.
Asas-asas Berhati-hati dalam penggunaan
kekuasaan negara
7.
Asas-asas ketelitian dan kesungguhan
hati dalam mengurus kepentingan para warga masyarakat
8.
Asas-asas kesaksamaan dan kejujuran
dalam mengambil keputusan terhadap permohonan para warga masyarakat.
Salah
satu prinsip dalam Negara Hukum adalah Wetmatigheid Van Bestuur atau
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau dengan kata lain
setiap tindakan hukum pemerintah, baik dalam menjalankan fungsi pengaturan
maupun fungsi pelayanan, harus berdasarkan pada wewenang yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan yang diberlakukan.
Pouvoir
Discretionare atau Freies Ermessen merupakan kemerdekaan bertindak atas
inisiatif dan kebijakan sendiri dari administrasi negara pada welfare
state. Sedang secara etimologis, Freies Ermessen artinya orang yang bebas
mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan bebas mengambil keputusan.
Sebenarnya freies ermessen terinspirasi
dari asas diskresi yang berarti kebebasan seorang pejabat untuk bertindak
berdasarkan pikirannya demi kepentingan umum. Selalu kita mendapati di jalan
umum misalnya ketika terjadi macet, maka meski lampu merah menyala polisi lalu
lintas membiarkan kendaraan lewat di jalur lampu merah tersebut. Inilah
sebenarnya contoh kecil dari penggunaan asas diskresi oleh polisi lalu lintas.
Diskresi
diperlukan sebagai pelengkap asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan
bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan
ketentuan undang-undang, akan tetapi tidak mungkin bagi undang-undang untuk
mengatur segala macam hal dalam praktek kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu
diperlukan adanya kebebasan atau diskresi pada pejabat publik dalam
melaksanakan tugas, fungsi dan kewajiban yang dibebankan kepadanya
Oleh Marbun dan Ridwan HR mengemukakan bahwa freies ermessen merupakan kebebasan yang melekat bagi pemerintah atau administrasi Negara.
Oleh Marbun dan Ridwan HR mengemukakan bahwa freies ermessen merupakan kebebasan yang melekat bagi pemerintah atau administrasi Negara.
Sebenarnya
jika ditilik lebih jauh pengguanan asas freies ermessen oleh
pejabat publik bertentangan dengan asas legalitas, namun hal itu tidak berarti
tidak bisa kita mengatakan bahwa pejabat kemudian dilarang bertindak padahal
itu atas nama demi kepentingan umum.Meski salah satu dari tujuan Negara
adalah Negara hukum, tetapi arah atau sasaran utamanya adalah Negara
kesejahteraan (welfare state). Oleh karena itu pejabat eksekutif yang
lebih banyak bersentuhan dnegan pelaksanaan undang-undang tidak dapat dibatasi
untuk tidak bertindak, ketika terjadi kekosongan hukum (wetvacuum) dan adanya
peraturan pelaksanaan undang-undang yang perlu ditafsirkan (interpertate).
Namun tetap kembali bahwa meski itu adalah tindakan diskresi pejabat tetap
harus dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral.
Kemudian, kita juga tidak dapat menghilangkan penggunaan freies ermessen dalam hukum administrasi Negara, karena hal itu juga sudah dinyatakan secara tegas dalam Undang-undang Peradilan TUN (UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004), bahwa individu atau badan hukum perdata jika dirugikan dengan keluarnya KTUN, salah satu alasan dapat mengajukan gugatan ke PTUN adalah karena keputusan itu bertentang dengan Asas-Asas Uum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), jadi selain keputusan pejabat TUN dapat diuji karena bertentang dnegan peraturan perudang-undangan yang berlaku juga dapat diuji melalui AAUPB.
Dengan
demikian segala keputusan TUN tidak hanya lagi dapat diuji melalu peraturan
perundang-undangan yang berlaku, jikalau misalnya terjadi penyalahgunaan
kewenangan (abuse of the power/ detornment of the pouvoir), terjadi
pencaplokan kekuasaan (succession of the power) atau terjadi
kesewenang-wenangan oleh pejabat tersebut ketika mengeluarkan keputusan (willekeur).
Artinya saat ini, semakin luas alat atau instrument yang dapat digunakan
sebagai alasan mengajukan gugatan ke peradilan administrasi (PTUN) dengan
hadirnya AAUPB sebagai penerapan lebih lanjut dari
asas freies ermessen.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sumber hukum ialah
segala sesutau yang menyebabkan terjadinya hukum dengan segala aturan-aturan
hukumnya. Sumber Hukum umumnya maupun sumber Hukum HAN dibedakan menjadi dua
yaitu sumber hukum materiil dan sumber hukum formiil.
Sumber hukum materiil
dari HAN meliputi faktor-faktor yang ikut mempengaruhi materi (isi) dari
aturan-aturan HAN. Faktor yang
mempengaruhi isi HAN yaitu meliputi faktor
Historis, filosofis, sosiologis, antropologis, ekonomis, agama dll. Pada
dasarnya sumber materiil HAN ialah Pancasila. Sedangkan sumber formiil HAN
ialah Undang-Undang, Kebiasaan, Jurisprudensi, dan Doktrin.
B. SARAN
Sebagai mahasiswa kita harus dapat
mengetahui sumber-sumber hukum administrasi Negara. Dalam makalah ini telah
dijelaskan mengenai sumber-sumber hukum administrai Negara yang dapat dipahami.
Sebagai mahasiswa seharusnya kita paham dengan adanya hukum administrasi Negara
untuk bekal pengetahuan.
Seperti dijelaskan bahwa
sumber-sumber hukum administrasi Negara ada dua yaitu sumber hukum formiil dan
sumber hukum materiil. Dengan mengetahui sumber hukum diharapkan dapat menambah
wawasan mengenai hukum administrasi Negara.
No comments:
Post a Comment
moga bermanfaat ^,^