

A.
Pendahuluan
Dalam
kekinian, peranan pranata hukum kontrak menjadi sangat penting untuk
mengakomodasi maraknya perdagangan yang terjadi secara global. Dinamika
tersebut tentu akan menimbulkan kesulitan dalam kontrak perdagangan. Kondisi
yang tak dapat disangkal adalah ketika pihak-pihak yang akan mengikatkan diri
berasal dari negara berbeda dan memiliki sistem hukum yang berbeda pula. Setiap
sistem hukum memiliki persamaan dan perbedaan baik secara fungsi maupun
penamaan yang perlu ditelaah lebih mendalam. Proses pengkajian melalui
perbandingan hukum bertujuan untuk mencapai penjelasan akan persamaan dan
perbedaan antara sistem hukum tersebut serta aplikasi dalam realita.
Sebelum
menelusuri aspek hukum kontrak yang terdapat dalam Sistem Civil Law,Sistem
Common Law(Inggris),sistem hukum islam dan adat diperlukan wawasan antara sistem
sistem hukum tersebut. Dengan bantuan kajian historis,pemahaman dasar mengenai
Sistem Civil Law,Sistem Common Law, Hukum Islam dan Adat akan dapat
mengantarkan kepada alasan-alasan tersirat berkenaan dengan persamaan dan
perbedaan dalam hukum kontrak sistem sistem hukum tersebut. Untuk dapat
memahami karakteristik utama dari sitem sistem tersebut.
B.
Pengertian
perjanjian
1.
Menurut
KUH Perdata (civil law)
Istilah perjanjian dapat kita jumpai di dalam KUH
Perdata, bahkan didalam ketentuan hukum tersebut dimuat pula pengertian kontrak
atau perjanjian. Disamping istilah tersebut, kitab undang-undang juga
menggunakan istilah perikatan, perutangan, namun pengertian dari istilah
tersebut tidak diberikan. Istilah perjanjian dalam Pasal 1313 Kitab Undang
Undang Hukum Perdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Hukum perjanjian
merupakan terjemahan dari bahasa belanda di sebut overeenscomstrecht sedangkan
dalam bahasa inggris, yaitu contract of
law,. Salim H.S mengartikan hukum kontrak atau perjanjian adalah “
keseluruhan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau
lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”
a. Unsur
unsurnya
1.
Kapasitas Para Pihak
Kebebasan kehendak sangat dipengaruhi oleh kapasitas atau
kemampuan seseorang yang terlibat dalam
perjanjian. Kemampuan ini sangat menentukan untuk melakukan perjanjian
sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan. Kapasitasyang dimaksudkan dalam civil law antara lain
ditentukan individu menurut umur
seseorang. Di Indonesia, Philipina, dan Jepang yang dianggap telah mempunyai kapasitas untuk melakukan
suatu kontrak harus telah berumur 21
tahun. Civil Code Perancis yang merefleksikan pemikiran modern, menyatakan bahwa kehendak
individu yang bebas adalah sumber dari
sistem hukum, yang meliputi hak dan kewajiban. Namun kebebasan kehendak ini
harus sesuai dengan hukum tertulis,
yaitu hukum perdata.
Di Indonesia, Jepang, Iran dan Philipina, di mana perusahaan sebagai subjek hukum dapat melakukan kontrak melalui pengurus
perusahaan. Di Indonesia pengurus perusahaan terdiri dari anggota direksi dan komisaris. Dalam melakukan
kegiatannya, maka anggota direksi harus
memenuhi ketentuan anggaran dasar perusahaan dan peraturan perundang-undangan, yang
memberikan kepadanya kapasitas dalam
melakukan penandatanganan kontrak dan tindakan hukum lainnya. Hal inilah yang
dikatakan dalam civil law merupakan the
code granted them full capacity.
2.
Kebebasan Kehendak Dasar Dari Kesepakatan
Kebebasan kehendak yang menjadi dasar suatu kesepakatan,
agar dianggap berlaku efektif harus tidak dipengaruhi oleh paksaan (dures), kesalahan (mistake), dan penipuan (fraud).
Berkenaan dengan kebebasan kehendak,
pengadilan di Perancis menerapkan
ketentuan civil Code sangat kaku, yaitu tidak boleh merugikan pihak lain. Dalam kenyataan
sehari-hari, walaupun yang dianggap
mampu melaksanakan kebebasan kehendak ada pada orang yang sudah dewasa, namun diantara
mereka tidak boleh membuat kebebasan
kehendak, yang dapat merugikan pihak lain.
Kesepakatan di
antara para pihak menjadi dasar terjadinya perjanjian. Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata menetukan bahwa perjanjian atau
kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa
adanya konsensus atau sepakat dari para
pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut memberikan petunjuk bahwa hukum perjanjian dikuasai oleh asas
konsensualisme. Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) tersebut mengandung pengertian bahwa
kebebasan suatu pihak untuk menentukan
isi perjanjian dibatasi oleh sepakat
pihak lainnya.
3.
Subjek yang pasti
Merujuk pada kesepakatan, terdapat dua syarat di hadapan
juristic act, suatu perjanjian dapat
diubah menjadi efektif yaitu harus dengan ada antara lain suatu subyek yang pasti. Sesuatu yang pasti tersebut, dapat
berupa hak-hak, pelayanan (jasa), barang -barang yang ada atau akan masuk keberadaannya, selama mereka dapat menentukan. Para pihak, jika perjanjian telah
terbentuk tidak mungkin untuk melakukan
prestasi, maka perjanjian tersebut dapat
dibatalkan.
4.
Suatu sebab yang diijinkan (A Premissible Cause)
Perjanjian tidak boleh melanggar ketentuan hukum. Suatu
sebab yang halal adalah syarat terakhir
untuk berlakunya suatu perjanjian. Pasal 1320 ayat 4 jo 1337 KUH Perdata
menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang
menyangkut causa yang dilarang oleh
Undang-Undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan
ketertiban umum. Perjanjian yang dibuat untuk causa yang dilarang oleh
Undang -Undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan
undang-undang adalah tidak sah.
2.
Menurut
hukum kontrak Amerika (common law)
Istilah
kontrak dalam bahasa inggris yaitu contrak of law. Lawrence M. Friedman
mengartikan hukum kontrak adalah
perangkat hukum yang mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis
jenisnya
Unsur unsurnya
1.
Bargain
Unsur bargain dalam kontrak common
law dapat memiliki sifat memaksa. Sejarah menunjukkan bahwa pemikiran mengenai
bargain , dalam hubungannya dengan konsep penawaran (offer)dianggap sebagai
ujung tombak dari sebuah perjanjiandan merupakan sumber dari hak yang timbul
dari suatu kontrak. Penawaran dalam konteks ini tidak lebih adalah sebuah
transaksi di mana para pihak setuju untuk melakukan pertukaran barang-barang,
tindakan-tindakan, atau janji-janjiantara satu pihak dengan pihak yang lain.
Karena itu, maka ukuran dari pengadilan terhadap perjanjian tersebut dilakukan
berdasarkan penyatuan pemikiran dari para pihak, ditambah dengan sumber dari
kewajiban mereka,dan kemudian memandang ke arah manifestasi eksternal dari
pelaksanaan perjanjian tersebut. Pengertian penawaran merupakan suatu kunciyang
digunakan untuk lebih mengerti tentang penerapan aturan-aturan common law
mengenai kontrak.
2.
Agreement
Suatu proses transaksi yang biasa
disebut dengan istilah offer and acceptance, yang ketika diterima oleh pihak
lainnya akan memberikan akibat hukum dalam kontrak. Dalam perjanjian sering
ditemukan, di mana satu pihak tidak dapat menyusun fakta-fakta ke dalam suatu
offer yang dibuat oleh pihak lainnya yang telah diterima sebagai acceptance
oleh pihak tersebut. Karena penawaran dan penerimaan adalah hal yang
fundamental, maka dalam sistem common law, sangat diragukan apakah suatu
pertukaran offer (cross-offer) itu dapat dianggap sebagai kontrak. Berdasarkan
sistem common law, pada saat suatu kontrak dibuat, saat itulah hak dan
kewajiban para pihak muncul, hal yang demikian itu diatur dalam statute. Karena
bisa saja terjadi suatu kontrak yang dibuat berdasarkan keinginan dari para
pihak dan pada saat yang sama juga kontrak tersebut tidak ada. Hal ini
disebabkan karena aturan mengenai acceptance dan revocation ini memiliki
akibat-akibat yang berbeda pada setiap pihak.
3.
Consideration
Dasar hukum yang terdapat dalam
suatu kontrak adalah adanya unsur penawaran yang kalau sudah diterima, menjadi
bersifat memaksa, bukan karena adanya janji-janji yang dibuat oleh para pihak.
Aturan dalam sistem common law tidak akan memaksakan berlakunya suatu janji
demi kepentingan salah satu pihak kecuali ia telah memberikan sesuatu yang
mempunyai nilai hukum sebagai imbalan untuk perbuatan janji tersebut. Hukum
tidak membuat persyaratan dalam hal adanya suatu kesamaan nilaiyang adil.
Prasyarat atas kemampuan memaksa ini dikenal dengan istilah consideration .
Consideration adalah isyarat, tanda dan merupakan simbol dari suatu penawaran.
Tidak ada definisi dan penjelasan yang memuaskan dari sistem common law
mengenai konsep ini. Hal demikian ini telah di mengerti atas dasar pengalaman.
4.
Capacity
Kemampuan termasuk sebagai syarat
tentang, apakah para pihak yang masuk dalam perjanjian memiliki kekuasaan.
Suatu kontrak yang dibuat tanpa adanya kekuasaan untuk melakukan hal tersebut
dianggap tidak berlaku.
Sebagai illustrasi dapat diuraikan
putusan pengadilan dalam Quality Motors, Inc. V. Hays di mana memutuskan bahwa
kontrak tidak sah karena dilakukan oleh individuyang belum dewasa, walaupun
transaksi dilakukan oleh melalui orang lain yang telah dewasa, dan surat jual
belinya di sahkan oleh notaris. Dalam kasus ini terlihat bahwa pengadilan
menerapkan secara tegas dan kaku ketentuan umur untuk seseorang dapat melakukan
perbuatan hukum. Walaupun jual beli akhirnya dilakukan oleh orang dewasa, namun
fakta menunjukkan ternyata hal tersebut dilakukan dengan sengaja untuk
melanggar ketentuan kontrak, akhirnya pengadilan membatalkan ketentuan kontrak
tersebut.
3.
Perjanjian
menurut persfektif hukum Islam
Di dalam menjelaskan pengertian hukum
perjanjian syariah terdapat 2 arti, baik secara etimologi maupun secara
istilah. Dalam bahasa Arab perjanjian itu diartikan sebagai Mu’ahadah Ittifa’.
Akan tetapi di dalam Bahasa Indonesia, perjanjian itu dikenal sebagai kontrak.
Yang mana dengan hal ini, perjanjian merupakan suatu perbuatan yang dilakukan
oleh seseorang atau kelompok dengan yang lainnya sehingga untuk mengikat antar
keduanya baik dirinya sendiri maupun orang lain.
Istilah
itu dalam al-Quran terdapat 2 macam yang berhubungan dengan perjanjian yaitu
akad dan ‘ahdu (al-‘ahdu). Akad itu hubungannya dengan perjanjian. Sedangkan
‘ahdu merupakan pesan, masa, penyempurnaan dan janji. Dalam hal ini, akad itu
disamakan dengan seperti halnya perikatan, sedangkan kata Al-‘Ahdu disamakan
dengan perjanjian. Maka dari itu, perjanjian juga dapat diartikan yaitu
pernyataan dari seseorang untuk melakukan ataupun tidak melakukan apa- apa dan
tidak berkaitan dengan kemauan orang lain.
Sedangkan
dalam KUHPerdata pasal 1313 yang berbunyi: “perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih lainnya”.
Dalam
pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan antara para pihak
yang mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang. Di dalam melakukan suatu
perjanjian itu harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Yang mana
terdapat ijab qabul. Agar perjanjian yang telah disepakati dapat berjalan
dengan lancar sesuai dengan tujuan. Dengan adanya ijab qabul ini, suatu
perjanjian dapat dinyatakan sebagai perjanjian yang sah sesuai dengan syariat
islam. Yang mana terjadi pemindahan suatu kepemilikan antara orang yang satu
kepada orang yang lain yang manfaatnya bisa dirasakan oleh kedua belah pihak
yang melakukan suatu perjanjian.
Terdapat
beberapa pendapat antara lain, menurut Ahmad Azhar Basyir, dia mengatakan akad
merupakan perikatan antara ijab dan qabul, yang mana keduanya dapat menetapkan
adanya akibat- akibat hukum yang ada yang mengacu kepada obyeknya. Di dalam
Peraturan Indonesia Nomor 7/ 46/ PBI/ 2005 yang di dalamnya menetapkan dalam
hal Akan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Dalam
hal ini setelah pemaparan di atas, maka dapat dikatakan bahwasannya akad adalah
suatu perjanjian yang menimbulkan kewajiban untuk berprestasi antara pihak yang
satu dengan pihak yang lainnya, yang mana antara keduanya terdapat hubungan
timbal balik.
4.
Perjanjian
menurut adat
Perjanjian menurut adat disini adalah
perjanjian dimana pemilik rumah memberikan ijin kepada orang lain untuk
mempergunakan rumahnya sebagai tempat kediaman dengan pembayaran sewa
dibelakang (atau juga dapat terjadi pembayaran dimuka).
C.
Asas
asas hukum perjanjian
1.
Asas
asas hukum perjanjian Civil law
a. Asas
Kebebasan Berkontrak
Asas
ini merupakan konsekuensi dari berlakunya asas kontrak sebagai hukum mengatur.
Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan asas kebebasan berkontrak adalah suatu
asas yang mengajarkan bahwa dalam suatu kontrak para pihak pada prinsipnya
bebas untuk membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasanya untuk
mengatur sendiri isi kontrak tersebut. Asas kebebasan berkontrak ini dibatasi
oleh rambu-rambu hukum sebagai berikut :
a. harus memenuhi syarat sebagai
suatu kontrak
b. tidak dilarang oleh
undang-undang
c. tidak bertentangan dengan
kebiasaan yang berlaku
d. harus dilaksanakan dengan itikad
baik.
Pasal 1320 BW yang berisikan syarat
sahnya perjanjian menunjukkan bahwa ketentuan tersebut sangat mendukung asas
kebebasan berkontrak, karena orang dapat bebas/ tidak dipaksa untuk sepakat
atau tidak sepakat. Prinsip kebebasan berkontrak berdasarkan Pasal 1320 BW mencakup
:
1. Kebebasan
untuk menentukan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
2. Kebebasan
untuk memilih dengan phak mana akan dibuat suatu perjanjian;
a. Kebebasan
untuk menetapkan isi perjanjian;
b. Kebebasan
untuk menetapkan bentuk perjanjian;
c. Kebebasan
untuk menetapkan cara pembuatan perjanjian.
b. Asas
Pacta Sunt Servanda
Asas pacta sunt servanda atau disebut
juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat
perjanjian. Asas ini merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati
substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda dapat di
simpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi. “Perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.
c. Asas
Konsensus
Asas konsensus dapat disimpulakn dalam
pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Dalam pasal tersebut ditentukan bahwa salah
satu syarat sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Bahwa
asas konsensus merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya
tidak diadakan secaral formal tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua
belah pihak.
2.
Asas
asas hukum perjanjian Common law
a. Freedom
of Contract (Kebebasan Berkontrak)
Prinsip Freedom of Contract (Kebebasan
Berkontrak)
Prinsip kebebasan berkontrak sebenarnya telah diakui
dalam hukum Romawi, meskipun prinsip ini baru naik ke permukaan wacana kontrak
pada abad ke 19 yang menandai kebangkitan liberalisme. Perkembangan dalam
Common Law ternyata menanggapinya tidak seliberal dalam sistem Civil Law.
Dalam Common Law, penurunan kepercayaan
terhadap asas kebebasan berkontrak disebabkan secara khusus oleh:
Penggunaan
perjanjian standar yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar;
Menurunan
kebebasan memilih (free choice) sebagai dasar perikatan.
Menilik pemaparan mengenai kebebasan
berkontrak, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pemahaman mengenai
kebebasan berkontrak antara Sistem Common Law dan Sistem Civil Law. Perbedaan
pemahaman tersebut didasarkan oleh pandangan individualistik yang hidup dalam
Civil Law. Namun perlu diketahui, pemahaman Common Law mengenai kebebasan
berkontrak pun telah nampak di Indonesia sebagai negara penganut Civil Law.
Di Indonesia, pembatasan terhadap asas
kebebasan berkontrak lebih dikenal sebagai kontrak baku. Kontrak baku hanya
memuat dua unsur dalam asas kebebasan berkontrak, yakni kebebasan untuk
menentukan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian dan kebebasan untuk
memilih dengan phak mana akan dibuat suatu perjanjian. Pembatasan tersebut
menandakan bahwa kebebasan lebih berada di pihak yang memberikan penawaran
kontrak. Pihak yang memberikan penawaran kontrak ada pada orang yang lebih
berkuasa. Pihak berkuasa menutup kemungkinan dalam perubahan isi, bentuk, dan
cara pembuatan perjanjian.
d. Asas
Obligatoir
Asas obligatori adalah suatu asas
yang menetukan bahwa jika suatu kontrak telah dibuat, maka para pihak telah
terikat, tetapi keterikatan itu hanya sebatas timbulnya hak dan kewajiban
semata-mata, sedangkan prestasi belum dapat dipaksakan karena kontrak kebendaan
(zakelijke overeenkomst) belum terjadi. Jadi, jika terhadap kontrak jual beli
misalnya, maka dengan kontrak saja, hak milik belum berpindah, jadi baru
terjadi kontrak obligatoir saja. Hak milik tersebut baru dapat berpindah
setelah adanya kontrak kebendaan atau sering disebut serah terima (levering).
Hukum kontrak di Indonesia memberlakukan asas obligatoir ini karena berdasarkan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kalaupun hukum adat tentang kontrak tidak
mengakui asas obligatoir karena hukum adat memberlakukan asas kontrak riil,
b. Prinsip
Konsensualisme
Konsensualisme berasal dari akar kata
“konsensus” yang berarti sepakat. Apabila dijabarkan secara lebih lanjut,
konsensualisme memiliki pemahaman sebagai kesepakatan akan suatu hal yang sama.
Prinsip konsensualisme berarti bahwa perjanjian dan perikatan yang timbul oleh
karenanya telah dilahirkan sejak detik sepakat terjadi. Prinsip konsensualisme
berangkat dari moral manusia untuk senantiasa memegang janjinya.
Menurut sitem Civil Law
Kesepakatan
antar para pihak yang membuat perjanjian sesuai dengan Pasal 1320 BW, dianggap
tidak ada apabila terdapat tiga halangan yang ditentukan dalam Pasal 1321 BW,
yakni:
Perjanjian
yang terbentuk karena ada tiga hal tersebut, bukan merupakan suatu perjanjian.
Kesepakatan
dianggap tidak terjadi apabila terdapat:
1. Mistake
(kekeliruan/kekhilafan);
a. Common
mistake: kekhilafan yang sama dari kedua belah pihak
b. Mutual
mistake: kekhilafan yang berlainan dari kedua belah pihak
c. Unilateral
mistake: kekhilafan yang terjadi pada salah satu pihak saja
2. Dures
(paksaan);
Paksaan
haruslah memenuhi dua unsur:
a. Paksaan
terhadap kemauan dari korban dan
b. Paksaan
tersebut melawan hukum.
3. Misrepresentation
(kebohongan, penipuan).
a. Innocent
misrepresentation: suatu misrepresentation yang oleh pelakunya dianggap sebagai
perilaku yang benar;
b. Fraudulent
misrepresentation: misrepresentation yang oleh pelakunya memang diyakini
sebagai perilaku yang tidak benar.
Dari
penjelasan mengenai prinsip konsensualisme antara Sistem Civil Law dan Sistem
Common Law, terlihat persamaan unsur mengenai halangan terhadap kesepakatan
perjanjian. Namun terdapat persamaan mendasar yang juga mencerminkan perbedaan
kedua sistem hukum tersebut, yakni pola perumusan peraturan. Pola perumusan
peraturan dalam Civil Law cenderung bersifat umum dan abstrak, dibutuhkan
penafsiran tambahan dalam memecahkan suatu persoalan berkaitan dengan prinsip
konsensualisme. Sementara dalam Common Law, pola perumusan peraturan lebih
bersifat pragmatis dan konkrit. Faktor metode pendekatan deduktif dari Civil
Law dan metode pendekatan induktif dari Common Law memiliki pengaruh yang
signifikan.
Doktrin Pacta Sunt Servanda
Dokrin
tersebut berasal dari Hukum Romawi yang menyatakan bahwa perjanjian harus
ditaati. Namun istilah pacta sunt servanda sendiri berasal dari Paus Gregorius
IX dalam rentang tahun 1145-1241. Hukum Romawi membedakan antara contractus dan
pactum. Contractus adalah perjanjian yang dibuat dalam bentuk resmi dan dapat
digugat, sedangkan pactum merupakan perjanjian yang dapat digugat hanya
berdasarkan asas bona-fides (itikad baik), itikad buruk harus dibuktikan oleh
penggugat. Paus Gregorius IX kemudian menetapkan bahwa pactum yang tidak
berbentuk resmi pun dapat digugat.
Sistem
Common Law tidak menyebutkan bahwa perjanjian mengikat sebagai undang-undang,
melainkan;
1. Perjanjian
“must be observed”;
2. Perjanjian
“shall be held sacred”.
Dari pemaparan tersebut dapat dikatakan
bahwa terdapat perbedaan perspektif terhadap pascta sunt servanda. Perbedaan
tersebut berakar dari pemahaman sistem hukum masing-masing karena dipengaruhi
pola pemikiran hukum yang berbeda. Namun tujuan dari asas pacta sunt
servandabaik dalam Civil Law maupun Common Law adalah perjanjian haruslah
ditaati.
3.
Asas
asas hukum perjanjian Syariah
1. Asas Ibahah
(mabda’ al-Ibahah)
Asas
ibahah adalah asas umum hukum islam dalam bidang muamalat secara umum. Asas ini
dirumuskan dalam andigum:
Artinya:
Pada asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang
melarangnya.
Asas
ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku dalam masalah ibadah. Dalam
hukum islam, untuk tindakan-tindakan ibadah berlaku asas: “Bentuk-bentuk ibadah
yang sah adalah bentuk-bentuk yang disebutkan dalam dalil-dalil syari’ah”.
2. Asas
Kebebasan Beraqad (mabda’ huriyyah at-ta’aqud)
Hukum
islam mengakui kebebasan beraqad, yaitu suatu prinsip hukum yang menyatakan
bahwa setiap orang dapat membuat aqad atau jenis apapun tanpa terikat kepada
nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syari’ah dan memasukan
klausula apa saja ke dalam aqad yang dibuatnya sesuai dengan kepentinganya
sejauh tidak berakibat makan harta sesame dengan batil. Namun demikian, di
lingkungan madzhab-madzhab yang berbeda terdapat perbedaan pendapat mengenai
luas-sempitnya kebebasan tersebut. Nas-nas Al-Qur’an dan Sunah Nabi saw. serta
kaidah-kaidah hukum islam menunjukan bahawa hukum islam menganut asas
kenbebasan berkontrak (aqad). Asas kenbebasan beraqad ini merupakan
konkritisasi lebih jauh dari sepesifikasi yang lebih tegas lagi terhadap asas
ibadah dalam mumalat.
3. Asas
Konsensualisme (mabda’ ar-radhaiyyah)
Asas
konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan
tercapainya kata sepakat antara pihak tanpa perlu dipenuhinya
formalitas-formalitas tertentu. Dalam hadis Nabi
4. Asas
Janji Mengikat
5. Asas
Keseimbangan (mabda’ at-tawazun fi al-mu’awadhah)
Secara
factual jarang terjadi keseimbangan antara para pihak dalam bertransaksi, namun
hukum perjanjian islam tetap menekankan perlunya keseimbangan itu, baik
keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang diterima maupun
keseimbangan dalam memikul risiko. Asas keseimbangan dalam transasksi (antara
apa yang diberikan apa yang diterima) tercermin pada dibatalkanya suatu aqad
yang mengalami ketidakseimbangan prestasi yang mencolok. Asas keseimbangan
dalam memikul risiko tercermin dalam larangan terhadap transaksi riba, di mana
dalam konsep riba hanya debitur yang memikul segala risiko atas kerugian usaha,
sementara krditor bebas sama sekali dan harus mendapat prosentase tertentu
sekalipun pada saat dananya mengalami kembalian negative.
6. Asas
Kemaslahatan (tidak memberatkan)
Asas
kemaslahatan dimaksudkan bahwa aqad yang akan dibuat oleh para pihak bertujuan
untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh menimbulkan kerugian
atau keadaan yang memberatkan. Apabila dalam pelaksanaan aqad terjadi suatu
perubahan keadaan yang tidak dapat diketahui sebelumnya serta membawa kerugian
yang fatal bagi pihak yang bersangkutan sehingga memberatkanya, maka
kewajibanya dapat diubah dan disesuaikan kepada batas yang masuk akal.
7. Asas
Amanah
Asas
Amanah dimaksudkan bahwa masing-masing pihak haruslah beritiqad baik dalam
bertransaksi dengan pihak lainya dan tidak dibenarkan salah satu pihak
mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam kehidupan masa kini banyak sekali
objek transaksi yang dihasilkan oleh satu pihak melalui suatu keahlian yang
amat sepesialis dan profesionalisme yang tinggi sehingga ketika ditansaksikan,
pihak lain menjadi mitra tarnsaksi tidak banyak mengetahui seluk beluknya. Oleh
karena itu, ia sangat bergantung kepada pihak yang menguasainya.
8. Asas
Keadilan
Keadilan
adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua hukum. Dalam hukum islam,
keadilan langsung merupakan perintah al-qur’an Keadilan merupakan sendi setiap
perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sering kali dizaman modern aqad ditutup
oleh satu pihak dengan pihak lain tanpa ia memiliki kesempatan untuk melakukan
negosiasi mengenai klausula aqad tersebut, karena klausula aqad itu telah
dibakukan oleh pihak lain. Tidak mustahil bahwa dalam pelaksanaanya akan timbul
kerugian kepada pihak yang menerima syarat baku itu karena didorong kebutuhan.
Dalam hukum islam kontemporer telah diterima suatu asas bahwa demi keadilan
syarat baku itu dapat diubah oleh pengadilan apabila memang ada alasan untuk
itu.
4.
Asas
asas hukum perjanjian Adat
1. keseimbangan
asas keseimbangan merupakan konstruksi
dari kesusilaan, itikad baik, kepantasan dan kepatutan, penyalahgunaan keadaan,
dan iustum pretium. Asas keseimbangan juga melalui interpretasi hermeneutik
ternyata berhubungan dengan asas-asas klasik perjanjian.
2. Asas
selaras nyata
Asas laras nyata berkenaan dengan
persoalan bagaimana memuaskan kebutuhan estetis yang hidup dalam masyarakat.
Asas ini memberikan jawaban atas suatu persoalan sehingga penyelesaiannya itu
dianggap memuaskan dari ukuran kebutuhan dan perasaan hukum dan moral: segala
sesuatu telah kembali seperti semula (seperti sebelum sengketa muncul dan
mengganggu keseimbangan masayarakat). Kalau diperhatikan asas laras nyata
diterapkan dalam konsep perkawinan jujur dalam masyarakat hukum adat Indonesia.
Jujur (semacam mas kawin) dalam perkawinan adat Batak wajib diberikan kepada
keluarga pengantin perempuan sebagai pemulih keseimbangan magis-religius kedua
keluarga mempelai. Keluarga pengantin perempuan wajib mendapat jujur agar tidak
menjadi pincang kehilangan satu anggotanya diambil keluarga mempelai laki-laki,
sedangkan keluarga laki-laki wajib membayar jujur agar tidak keberatan menambah
satu anggota keluarga. Dengan begitu tercapai keseimbangan dan keabsahan
perkawinan.
3. Asas
riil
Asas perjanjian riil, artinya suatu
perjanjian haruslah dibuat secara riil, adalah hal ini harus dibuat secara
terang dan tunai. perjanjian harus dilakukan di depan pejabat tertentu,
misalnya di depan penghulu adat atau ketua adat, yang sekaligus juga dilakukan
levering-nya. Jika hanya sekedar janji saja, seperti dalam sistem obligatoir,
dalam hukum adat perjanjian semacam ini tidak mempunyai kekuatan sama sekali.
D.
Sumber
hukum perjanjian
1.
Sumber
hukum perjanjian Civil law
Pada
dasarnya sumber hukum dapat di bedakan menjadi dua macam, yaitu sumber hukum
materil dan sumber hukum formil. Sumber hukum materil ini merupakan faktor yang
membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan sosial, kekuatan politik,situasi
sosial ekonomi,tradisi(pandangan keagamaan dan kesusilaan), hasil penelitian
ilmiah perkembangan internasional, dan keadaan geografis. Sumber hukum formal
merupakan tempat memperoleh kekuatan hukum. Yang diakui sebagai hukum formal
ialah undang-undang perjanjian antar negara, yurisprundensi dan kebiasaaan.
Berikut sumber hukum perjanjian yang berasal dari undang undang.
a. Algemene
Bepalingen Van Wetgiving (AB)
AB
merupakan ketentuan ketentuan umum pemerintah hindia belanda yang diberlakukan
di indonesia. AB diatur dalam stb. 1847 nomor 23, dan diumumkan secara resmi
pada tanggal 30 april 1847. AB terdiri dari 37 pasal.
b. KUH
Perdata Atau BW
KUH
Perdata merupakan ketentuan hukum yang berasal dari produk pemerintahan hindia
belanda, yang di undangkan dengan maklumat tanggal 30 April 1847, stb. 1847,
nomor 23, sedangkan di indonesia di umumkan dalam stb, 1848. Sedangkan
ketentuan hukum yang mengatur hukum perjanjian di atur dalam buku III KUH Perdata.
c. KUH
dagang
d. Undang
Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Tidak
Sehat.
Yang
diatur dalam undang undang ini meliputi ketentuan umum,asas dan
tujuan,perjanjian yang dilarang,kegiatan yang dilarang,posisi domain,
e. Undang
Undang No 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi.
Mengatur
hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelengaraan
pekerjaan konstruksi
f. Undang
Undang No 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional
2.
Sumber
hukum kontrak Common law
Dalam hukum kontrak Amerika (common
law), sumber hukum dibagi menjadi dua kategori, yaitu sumber hukum primer dan
sumber hukum skunder. Sumber hukum primer merupakan sumber hukum yang utama.
Para pengacara dan hakim menganggap bahwa sumber hukum primer dianggap sumber
hukum itu sendiri. Sumber hukum primer meliputi keputusan pengadilan, statuta,
dan peraturan lainnya. Sumber hukum sekunder merupakan sumber hukum kedua.
Sumber hukum sekunder ini mempunyai pengaruh dalam pengadilan, karena
pengadilan dapat mengacu pada sumber hukum skunder tersebut. Sumber hukum
sekunder ini terdiri dari restatement dan legal comentary.
3.
Sumber
hukum dalam perspektif hukum Islam
Sumber
hukum perjanjian hukum islam terdapat dalam Al Quran dan Hadis. Salah satunya
Firman Allah yang berbunyi
“Hai orang-orang yang
beriman, penuhilah olehmu aqad-aqad (perjanjian) itu. (Q.S. Al-Maidah ayat 1)
Al-Biaqi
mengemukakan hubungan yang lebih rinci. Menurut beliau pada akhir surat an-Nisa
164, telah diuraikan bahwa orang-orang Yahudi yang melakukan kedzaliman dengan
mengabaikan perjanjian mereka dengan Allah swt, telah dijatuhi sanksi; yakni
berupa diharamkanya atas mereka (orang-orang Yahudi) yang baik-baik yang telah
dihalalkan bagi merka, Al-anam ayat 45. Dengan demikian sangat wajar dan amat
sesuai bila dengan tuntunan kepada orang beriman untuk memenuhi akad
(perjanjian).
4.
Sumber
hukum perjanjian Adat
E.
Syarat
syarat sahnya perjanjian
1.
Menurut
KUH Perdata (civil law)
Dalam hukum Eropa kontinental, syarat
sahnya perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata atau pasal 1365 buku IV
NBW (BW Baru) Belanda. Pasal 1320 KUH Perdata
menentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu
a. Adanya
Kesepakatan Kedua Belah Pihak
Syarat
yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau konsensus pada
pihak. Kesepakatan ini diatur dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Yang
dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang dengan orang lain
atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataan, karena
kehendak itu tidak dapat diketahui orang lain.
b. Kecakapan
Untuk Melakukan Perbuatan Hukum (Kecakapan Bertindak)
Kecakapan
bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum.
Perbuatan hukum adalah perbuatan ang akan menimbulkan akibat hukum. Orang orang
yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang orang ang cakap dan mempunyai
wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagai mana yang ditentukan oleh
undang undang. Ukuran cakap adalah telah berumur 21 tahun dan sudah atau pernah
kawin.orang yang tidak di anggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum:
a) Anak
dibawah umur
b) Orang yang di taruh dibawah pengampuan, dan
c. Adanya
Obyek
Yang
menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah
apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Prestasi
ini terdiri dari perbuatan positif dan perbuatan negatif. Prestasi terdiri
dari;
a) Memberikan sesuatu
b) Berbuat sesuatu, dan
c) Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata)
d. Adanya
causa yang halal.
Dalam
pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian causa yang halal. Didalam
pasal 1337 KUH Perdata hanya di sebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab
adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan
ketertiban umum.
2.
Menurut
kontrak Amerika (common law)
Dalam
ukum kontrak Amerika ditentukan empat syarat sanya kontrak yaitu;
1) Adanya offer
(penawaran) dan acceptance
(penerimaan)
2) Metting of minds
(persesuaian keendak)
3) Considerasi (prestasi)
4) Competent paries and
legal subject matter (kemampuan hukum para pihak
dan pokok persoalan yang sah)
a. Penawaran
dan peneriman
Setiap
kontrak pasti di mulai dengan penawaran dan penerimaan. Yang di artikan dengan
penawaran adala suatu janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara
khusus pada masa yang akan datang penawaran ini di tujukan kepada setiap orang
atau para khalayak.
Penerimaan
adalah kesepakatan dari pihak yang menerima dan penawar tawaran harus di
sampaikan penerimaan tawara kepana penawar tawaran. Permintaan ini harus
bersifat absolut dan tanpa syarat atas tawaran itu.
b. Persesuaian
kehendak
Yaitu
adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para piak dan objek
kontrak.persesuaian kehendak haruk dilakukan secara jujur, tetapi apabila
kontrak itu dilakukan dengan adanya penipuan, kesalahan, paksaan dan
penyalahgunaan keadaan maka kontrak tersebut menjadi tidak sah
c. Kemampuan
dan keabsaan tentang subjek
Adalah
kemapuan dan kecakapandari subjek hukum untukmelakukan kontrak.
3.
Menurut
perjanjian Syariah
Syarat sahnya
perjanjian secara syariah adalah sebagai berikut :
1. tidak
menyalahi hukum syariah yang disepakati
adanya, syarat ini mengandung pengertian
setiap orang pada prinsipnya bebas membuat perjanjian tetapi kebebasan itu ada
batasannya yaitu tidak boleh bertentangan dengan syariah Islam baik yang
terdapat dalam Alquran maupun Hadist. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka
akan mempunyai konsekuensi yuridis perjanjian yang dibuat batal demi hukum.
Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya
perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan kausa halal.
2. harus
sama ridha
dan
ada pilihan, syarat ini mengandung pengertian perjanjian harus didasari pada
kesepakatan para pihak secara bebas dan sukarela, tidak boleh mengandung unsur
paksaan, kekhilafan maupun penipuan. Apabila syarat ini tidak terpenuhi dan
belum dilakukan tindakan pembatalan maka perjanjian yang dibuat tetap dianggap
sah. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya
perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan kesepakatan
(konsensualisme).
3. harus
jelas dan gamblang,
sebuah
perjanjian harus jelas apa yang menjadi obyeknya, hak dan kewajiban para pihak
yang terlibat dalam perjanjian. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka
perjanjian yang dibuat oleh para pihak batal demi hukum sebagai konsekuensi
yuridisnya. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat
sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan adanya
obyek tertentu.
Apabila
salah satu syarat tidak dapat terpenuhi mempunyai konsekuensi yuridis terhadap
perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, sedangkan bagi
perjanjian yang sah akan mengikat bagi para pihak sebagai undang-undang dan
para pihak wajib melaksanakan perjanjian secara sukarela dengan itikad baik
serta tidak bisa memutuskan perjanjian tersebut secara sepihak. Apabila salah
satu pihak mengabaikan perjanjian maka akan mendapat sanksi dari Allah di
akhirat nanti.
1. Landasan
filosofis
·
Hukum perjajian syariah
: religious, transedental (ada nilai agama, berasal dari ketentuan Allah.
·
Hukum perjanjian
konvensional: sekuler (tidak ada nilai agama).
2. Sifat
·
Hukum perjanjian
syariah: individual proporsional.
·
Hukum perjanjian
konvensional: individual / liberal.
3. Ruang
lingkup (subtansi)
·
Hukum perjanjian
syariah: hubungan bidimensional manusia dengan Allah (vertikal), manusia dengan
manusia, benda, dan lingkungan (horizontal).
·
Hukum perjanjian
konvensional: hanya hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan benda
(horizontal).
4. Proses
terbentuknya
·
Hukum perjanjian
syariah: adanya pengertian al-ahdu (perjanjian) – persetujuan - al – akhdu
(perikatan) (QS.Ali Imron: 76, QS. Al-Maidah:1 ).
·
Hukum perjanjian
konvensional: adanya perngertian perjanjian (overeenkomst) dan perikatan
(verbintebsis) (1313 dan 1233 BW).
5. Sahnya
perikatan
·
Hukum perjanjian
syariah: halal, sepakat, cakap, tanpa paksaan, ijab dan qobul.
·
Hukum perjanjian
konvensional: sepakat, cakap, hal tertentu, halal (1320 BW).
6. Sumber
·
Hukum perjanjian
syariah: sikap tindak yang didasarkan syariat, persetujuan yang tidak melanggar
syariat.
·
Hukum perjanjian
konvensional: persetujuan, undang-undang (1233 BW).
Kesimpulan
Semua Hukum perjanjian pada dasarnya sama yaitu
dibuat oleh para dan untuk disepakati oleh para pihak yang membuatnya dan
bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya
No comments:
Post a Comment
moga bermanfaat ^,^