A.
Pendahuluan
Dalam kekinian,
peranan pranata hukum kontrak menjadi sangat penting untuk mengakomodasi
maraknya perdagangan yang terjadi secara global. Dinamika tersebut tentu akan
menimbulkan kesulitan dalam kontrak perdagangan. Kondisi yang tak dapat
disangkal adalah ketika pihak-pihak yang akan mengikatkan diri berasal dari
negara berbeda dan memiliki sistem hukum yang berbeda pula. Setiap sistem hukum
memiliki persamaan dan perbedaan baik secara fungsi maupun penamaan yang perlu
ditelaah lebih mendalam. Proses pengkajian melalui perbandingan hukum bertujuan
untuk mencapai penjelasan akan persamaan dan perbedaan antara sistem hukum
tersebut serta aplikasi dalam realita.
Sebelum menelusuri aspek hukum
kontrak yang terdapat dalam Sistem Civil
Law,Sistem Common Law(Inggris),sistem
hukum islam dan adat diperlukan wawasan antara sistem sistem hukum tersebut. Dengan bantuan kajian
historis,pemahaman dasar mengenai Sistem Civil
Law,Sistem Common Law, Hukum Islam dan Adat akan dapat
mengantarkan kepada alasan-alasan tersirat berkenaan dengan persamaan dan
perbedaan dalam hukum kontrak sistem sistem hukum tersebut. Untuk dapat
memahami karakteristik utama dari sitem sistem tersebut.
Namun dalam sudut pandang lain,
Sistem Civil Law dan Sistem Common Lawdapat diklasifikasi sebagai
Tradisi Hukum Barat
Al-Qur’an adalah
kalam Allah yang diturunkan oleh-Nya melalui pelantara malaikat Jibril ke dalam
hati rusulallah Muhammad bin Abdullah dengan lafadz yang berbahasa Arab dan
makna-maknanya yang benar, untuk menjadi hujjah bagi Rasul atas pengakuannya
sebagai Rasulallah, menjadi undang-undang bagi manusia yang mengikuti
petunjuknya, dan menjadi qurbah di mana mereka beribadah dengan membacanya.
Hukum yang terkandung dalam al-Qur’an itu ada tiga macam, yaitu: hukum-hukum
I’itiqadiyyah, hukum moralitas dan hukum amaliyah yang bersangkut paut dengan
sesuatu yang timbul dari mukallaf.
Dari klasifikasi
al-Qur’an yang terbagai menjadi tiga, penulis berfokuskan pada al-Qur’an yang
menyangkut hukum-hukum amaliayah. Disamping itu, hukum amaliyah terbagi menjadi
dua yakni hukum-hukum ibadah dan hukum-hukum muamalat. Dan disinilah penulis
tekankan pada hukum-hukum muamalat khususnya tema aqad (perjanjian).
Bahasan ini akan menitikberatkan
bagaimana Al-Qur’an dalam menanggapi permsalahan-permasalahan perjanjian
pada saat ini, sehingga perjanjian yang seperti apakah yang dicita-citakan
al-Qur’an.
B.
Perjanjian menurut KUH Perdata (civil law)
1. Istilah dan pengertian perjanjian
Istilah perjanjian
dapat kita jumpai di dalam KUH Perdata, bahkan didalam ketentuan
hukum tersebut dimuat pula pengertian kontrak atau perjanjian. Disamping
istilah tersebut, kitab undang-undang juga menggunakan istilah perikatan,
perutangan, namun pengertian dari istilah tersebut tidak diberikan. Istilah perjanjian dalam Pasal 1313 Kitab
Undang Undang Hukum Perdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Hukum perjanjian merupakan
terjemahan dari bahasa inggris, yaitu contract
of law, sedangkan dalam bahasa
belanda di sebut overeenscomstrecht. Salim
H.S mengartikan hukum kontrak atau perjanjian adalah “ keseluruhan
kaidah-kaidah yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”
2. Sumber hukum perjanjian
a. Algemene
bepalingen van wetgiving (AB)
AB merupakan ketentuan ketentuan umum pemerintah
hindia belanda yang diberlakukan di indonesia. AB diatur dalam stb. 1847 nomor
23, dan diumumkan secara resmi pada tanggal 30 april 1847. AB terdiri dari 37
pasal.
b. KUH Perdata atau BW
KUH Perdata merupakan ketentuan hukum yang berasal
dari produk pemerintahan hindia belanda, yang di undangkan dengan maklumat
tanggal 30 April 1847, stb. 1847, nomor 23, sedangkan di indonesia di umumkan
dalam stb, 1848. Sedangkan ketentuan hukum yang mengatur hukum perjanjian di
atur dalam buku III KUH Perdata.
c. KUH
dagang
d. Undang undang no 5 tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan tidak sehat.
Yang diatur dalam undang
undang ini meliputi ketentuan umum,asas dan tujuan,perjanjian yang
dilarang,kegiatan yang dilarang,posisi domain,
e. Undang undang no 18 tahun 1999 tentang
Jasa Konstruksi.
Mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan
penyedia jasa dalam penyelengaraan pekerjaan konstruksi
f. Undang undang no 24 tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional
3. Syarat-syarat sahnya perjanjian
Dalam hukum Eropa kontinental, syarat sahnya
perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata atau pasal 1365 buku IV NBW (BW
Baru) Belanda. Pasal 1320 KUH Perdata
menentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu
1) Adanya kesepakatan kedua belah pihak
Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya
kesepakatan atau konsensus pada pihak. Kesepakatan ini diatur dalam pasal 1320
ayat (1) KUH Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian
pernyataan kehendak antara satu orang
dengan orang lain atau lebih dengan pihak lainnya.
2) Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
3) Adanya obyek, dan
4) Adanya kausa yang halal.
Unsur perjanjian
- Ada para pihak
- Ada persetujuan antara pihak-pihak tersebut
- Ada tujuan yang akan dicapai
- Ada prestasi yang akan dilaksanakan
- Ada bentuk tertentu,baik lisan maupun tulisan
- Ada syarat-syarat tertentu.
Syarat syarat sahnya perjanjian
B. Perjanjian
Dalam Prepektik Hukum Islam
. Pengertian
hukum perjanjian syari’ah.
Di dalam
menjelaskan pengertian hukum perjanjian syariah terdapat 2 arti, baik secara
etimologi maupun secara istilah. Dalam bahasa Arab perjanjian itu diartikan
sebagai Mu’ahadah Ittifa’. Akan tetapi di dalam Bahasa Indonesia, perjanjian
itu dikenal sebagai kontrak. Yang mana dengan hal ini, perjanjian merupakan
suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok dengan yang lainnya
sehingga untuk mengikat antar keduanya baik dirinya sendiri maupun orang lain.
Istilah itu dalam
al-Quran terdapat 2 macam yang berhubungan dengan perjanjian yaitu akad dan
‘ahdu (al-‘ahdu). Akad itu hubungannya dengan perjanjian. Sedangkan ‘ahdu
merupakan pesan, masa, penyempurnaan dan janji. Dalam hal ini, akad itu
disamakan dengan seperti halnya perikatan, sedangkan kata Al-‘Ahdu disamakan
dengan perjanjian. Maka dari itu, perjanjian juga dapat diartikan yaitu
pernyataan dari seseorang untuk melakukan ataupun tidak melakukan apa- apa dan
tidak berkaitan dengan kemauan orang lain.
Sedangkan dalam
KUHPerdata pasal 1313 yang berbunyi: “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih
lainnya”.
Dalam pengertian
diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan antara para pihak yang
mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang. Di dalam melakukan suatu
perjanjian itu harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Yang mana
terdapat ijab qabul. Agar perjanjian yang telah disepakati dapat berjalan
dengan lancar sesuai dengan tujuan. Dengan adanya ijab qabul ini, suatu
perjanjian dapat dinyatakan sebagai perjanjian yang sah sesuai dengan syariat
islam. Yang mana terjadi pemindahan suatu kepemilikan antara orang yang satu
kepada orang yang lain yang manfaatnya bisa dirasakan oleh kedua belah pihak
yang melakukan suatu perjanjian.
Terdapat beberapa
pendapat antara lain, menurut Ahmad Azhar Basyir, dia mengatakan akad merupakan
perikatan antara ijab dan qabul, yang mana keduanya dapat menetapkan adanya
akibat- akibat hukum yang ada yang mengacu kepada obyeknya. Di dalam Peraturan
Indonesia Nomor 7/ 46/ PBI/ 2005 yang di dalamnya menetapkan dalam hal Akan
Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Dalam hal ini
setelah pemaparan di atas, maka dapat dikatakan bahwasannya akad adalah suatu
perjanjian yang menimbulkan kewajiban untuk berprestasi antara pihak yang satu
dengan pihak yang lainnya, yang mana antara keduanya terdapat hubungan timbal
balik.
B. Unsur,
rukun dan syarat hukum perjanjian syari’ah.
1. Unsur-unsur
hukum perjanjian syari’ah
· Pertalian ijab Kabul
· Dibenarkan oleh
syara`
· Mempunyai akibat
hukum terhadap objeknya
2. Rukun
perjanjian syari’ah
Rukun akad dapat
didefinisikan sebagai segala sesuatu yang bisa digunakan untuk
mengungkapkan kesepakatan atas dua kehendak atau sesuatu yang bisa disamakan
dengan hal itu dari tindakan isyarat atau korespondensi.
Rukun akad yaitu :
1) Subjek
akad (aqidain)
2) Objek
akad (ma’qud ‘alaih)
3) Substansi
akad (Maudhu’ul ‘aqdi)
4) Ijab
qabul
3. Syarat
perjanjian syari’ah
Syarat sahnya
perjanjian secara syariah adalah sebagai berikut :
a. tidak
menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya, syarat ini mengandung
pengertian setiap orang pada prinsipnya bebas membuat perjanjian tetapi
kebebasan itu ada batasannya yaitu tidak boleh bertentangan dengan syariah
Islam baik yang terdapat dalam Alquran maupun Hadist. Apabila syarat ini tidak
terpenuhi maka akan mempunyai konsekuensi yuridis perjanjian yang dibuat batal
demi hukum. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat
sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan kausa
halal.
b. harus
sama ridha dan ada pilihan, syarat ini mengandung pengertian perjanjian harus
didasari pada kesepakatan para pihak secara bebas dan sukarela, tidak boleh
mengandung unsur paksaan, kekhilafan maupun penipuan. Apabila syarat ini tidak
terpenuhi dan belum dilakukan tindakan pembatalan maka perjanjian yang dibuat
tetap dianggap sah. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai
syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan
kesepakatan (konsensualisme).
c. harus
jelas dan gamblang, sebuah perjanjian harus jelas apa yang menjadi obyeknya,
hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Apabila syarat ini
tidak terpenuhi maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak batal demi hukum
sebagai konsekuensi yuridisnya. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum
Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata disebut dengan adanya obyek tertentu.
Apabila salah satu
syarat tidak dapat terpenuhi mempunyai konsekuensi yuridis terhadap perjanjian
tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, sedangkan bagi perjanjian yang
sah akan mengikat bagi para pihak sebagai undang-undang dan para pihak wajib
melaksanakan perjanjian secara sukarela dengan itikad baik serta tidak bisa
memutuskan perjanjian tersebut secara sepihak. Apabila salah satu pihak
mengabaikan perjanjian maka akan mendapat sanksi dari Allah di akhirat nanti.
C. Kedudukan
hukum perjanjian syari’ah dalam tata hukum Indonesia.
Sunarjati Hartono
mengisyaratkan bahwa fase-fase perkembangan penerapan hukum di Indonesia
terjadi dalam 4 fase.
1. Fase sistem hukum adat
Hingga abad
ke-14, masyarakat kepulauan Nusantara hidup dalam suasana hukum adat mereka
yang asli. Di Minangkabau, misalnya berlaku hukum adat Minangkabau, di Sulawesi
berlaku hukum adat Sulawesi, begitu pula tempat-tempat lain berlaku hukum adat
masing-masing.
2. Fase
pengaruh agama Islam
Sebelum
kekuasaan kolonial Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia,
Hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang
kuat baik dalam masyarakat maupun dalam peraturan perundang-undangan negara.
Kerajaan-kerajaan Islam pada zaman dahulu pun memakai hukum Islam. Menurut
Ismail Sunni, hal ini dikarenakan sebagian besar bangsa Indonesia
menganut agama Islam, maka kerajaan-kerajaan Islam Nusantara menggunakan hukum
Islam sebagai hukum satu-satunya.
3. Fase
colonial
Setelah kekuasaan VOC diambil alih dan diserahkan
kepada Pemerintah Kolonial Belanda (tahun 1799), secara berangsur-angsur
pemerintah kolonial ini menyingkirkan hukum Islam sebagai bagian dari upaya
peneguhan kekuasaannya untuk menjajah Indonesia. Teori reseptie in
complexu diganti dengan teori receptie yang menyatakan bahwa hukum Islam hanya
berlaku apabila telah diresepsi oleh dan keluar dalam bentuk hukum adat.
4. Fase
Indonesia
Merdeka
Kondisi berubah
bagi hukum Islam dan peluang juridis-konstitusional bagi pemberlakunya semakin
terbuka. Lahirnya lembaga keuangan dan bisnis syariah, khususnya bank syariah
menjadikannya sebagai pijakan dasar. Beberapa bentuk akad telah diformalkan
dalam Peraturan Bank Indonesia.
Pada aspek ini, keberlakuan hukum Islam khususnya di bidang perjanjian
merupakan suatu kebutuhan dan tuntutan realitas nyata untuk memberikan dasar
pijak bagi penyelenggaraan bisnis dan ekonomi syariah yang telah menjadi
kenyataan di negeri ini.
Akhirnya kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa
kedudukan Hukum Islam (termasuk di dalamnya Hukum Perjanjian Islam) setelah
Indonesia merdeka sudah lebih kokoh, tanpa dikaitkan dengan Hukum Adat. Hal
ini dapat dilihat dari pembinaan Hukum Nasional yang berprinsip sebagai berikut
:
a. Hukum
Islam yang disebut dan direntukan oleh peraturan perundang-undangan dapat
berlaku langsung tanpa harus melalui Hukum Adat.
b. Republik
Indonesia
wajib mengatur sesuatu masalah sesuai dengan Hukum Islam sepanjang hukum itu hanya
berlaku bagi pemeluk agama Islam.
c. Kedudukan
Hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia
sama dan sederajat dengan Hukum Adat dan Hukum Barat.
d. Hukum
Islam juga menjadi sumber pembentukan Hukum Adat, Hukum Barat, dan hukum
lainnya yang tumbuh dan berkembang dalam negara Republik Indonesia.
D. Perbedaan
hukum perjanjian syari’ah dengan hukum perjanjian konvensional
Perjanjian dalam
hukum islam dikenal dengan istilah al-aqd yang berarti perikatan,
permufakatan. Secara terminology fiqih akad di definisikan dengan: :”pertalian
ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qobul (pernyataan menerima ikatan)
sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan”.
Sementara dalam
KUH Perdata disebutkan bahwa perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana
seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
untuk melakukan suatu hal”.
Dengan demikian,
setelah adanya perjanjian yang menimbulkan perikatan maka timbulah yang
dinamakan kontrak atau oleh hasanaddin rahmad disebut perjanjian tertulis
sebagai media atau bukti kedua belah pihak.
Perbedaan pokok
hukum perjanjian syariah dengan hukum perjanji konvensional :
1. Landasan
filosofis
Hukum perjajian syariah :
religious, transedental (ada nilai agama, berasal dari ketentuan Allah.
Hukum perjanjian konvensional: sekuler
(tidak ada nilai agama).
2. Sifat
Hukum perjanjian syariah: individual
proporsional.
Hukum perjanjian konvensional:
individual / liberal.
3. Ruang
lingkup (subtansi)
Hukum perjanjian syariah: hubungan bidimensional
manusia dengan Allah (vertikal), manusia dengan manusia, benda, dan
lingkungan (horizontal).
Hukum perjanjian konvensional:
hanya hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan benda (horizontal).
4. Proses
terbentuknya
Hukum perjanjian syariah: adanya
pengertian al-ahdu (perjanjian) – persetujuan - al – akhdu (perikatan)
(QS.Ali Imron: 76, QS. Al-Maidah: 1 ).
Hukum perjanjian konvensional:
adanya perngertian perjanjian (overeenkomst) dan perikatan (verbintebsis)
(1313 dan 1233 BW).
5. Sahnya
perikatan
Hukum perjanjian syariah: halal,
sepakat, cakap, tanpa paksaan, ijab dan qobul.
Hukum perjanjian konvensional:
sepakat, cakap, hal tertentu, halal (1320 BW).
6. Sumber
Hukum perjanjian syariah: sikap
tindak yang didasarkan syariat, persetujuan yang tidak melanggar syariat.
Hukum perjanjian konvensional:
persetujuan, undang-undang (1233 BW).
No comments:
Post a Comment
moga bermanfaat ^,^