Pages

Sunday 8 May 2016

HUKUM PERJANJIAN DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM (QUR’AN DAN HADIS)


http://adfoc.us/35384658983534

A.                        Pendahuluan
Dalam kekinian, peranan pranata hukum kontrak menjadi sangat penting untuk mengakomodasi maraknya perdagangan yang terjadi secara global. Dinamika tersebut tentu akan menimbulkan kesulitan dalam kontrak perdagangan. Kondisi yang tak dapat disangkal adalah ketika pihak-pihak yang akan mengikatkan diri berasal dari negara berbeda dan memiliki sistem hukum yang berbeda pula. Setiap sistem hukum memiliki persamaan dan perbedaan baik secara fungsi maupun penamaan yang perlu ditelaah lebih mendalam. Proses pengkajian melalui perbandingan hukum bertujuan untuk mencapai penjelasan akan persamaan dan perbedaan antara sistem hukum tersebut serta aplikasi dalam realita.
Sebelum menelusuri aspek hukum kontrak yang terdapat dalam Sistem Civil Law,Sistem Common Law(Inggris),sistem hukum islam dan adat diperlukan wawasan antara sistem sistem hukum tersebut. Dengan bantuan kajian historis,pemahaman dasar mengenai Sistem Civil Law,Sistem Common Law, Hukum Islam dan Adat akan dapat mengantarkan kepada alasan-alasan tersirat berkenaan dengan persamaan dan perbedaan dalam hukum kontrak sistem sistem hukum tersebut. Untuk dapat memahami karakteristik utama dari sitem sistem tersebut.
Namun dalam sudut pandang lain, Sistem Civil Law dan Sistem Common Lawdapat diklasifikasi sebagai Tradisi Hukum Barat

Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan oleh-Nya melalui pelantara malaikat Jibril ke dalam hati rusulallah Muhammad bin Abdullah dengan lafadz yang berbahasa Arab dan makna-maknanya yang benar, untuk menjadi hujjah bagi Rasul atas pengakuannya sebagai Rasulallah, menjadi undang-undang bagi manusia yang mengikuti petunjuknya, dan menjadi qurbah di mana mereka beribadah dengan membacanya. Hukum yang terkandung dalam al-Qur’an itu ada tiga macam, yaitu: hukum-hukum I’itiqadiyyah, hukum moralitas dan hukum amaliyah yang bersangkut paut dengan sesuatu yang timbul dari mukallaf.
Dari klasifikasi al-Qur’an yang terbagai menjadi tiga, penulis berfokuskan pada al-Qur’an yang menyangkut hukum-hukum amaliayah. Disamping itu, hukum amaliyah terbagi menjadi dua yakni hukum-hukum ibadah dan hukum-hukum muamalat. Dan disinilah penulis tekankan pada hukum-hukum muamalat khususnya tema aqad (perjanjian).
Bahasan ini akan menitikberatkan bagaimana Al-Qur’an dalam menanggapi  permsalahan-permasalahan perjanjian pada saat ini, sehingga perjanjian yang seperti apakah yang dicita-citakan al-Qur’an.



B.                         Perjanjian menurut KUH Perdata (civil law)
1.       Istilah dan pengertian perjanjian
Istilah  perjanjian dapat kita jumpai di dalam KUH Perdata, bahkan didalam ketentuan hukum tersebut dimuat pula pengertian kontrak atau perjanjian. Disamping istilah tersebut, kitab undang-undang juga menggunakan istilah perikatan, perutangan, namun pengertian dari istilah tersebut tidak diberikan. Istilah perjanjian dalam Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Hukum perjanjian merupakan terjemahan dari bahasa inggris, yaitu contract of  law, sedangkan dalam bahasa belanda di sebut overeenscomstrecht. Salim H.S mengartikan hukum kontrak atau perjanjian adalah “ keseluruhan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”

2.       Sumber hukum perjanjian
a.      Algemene bepalingen van wetgiving (AB)
AB merupakan ketentuan ketentuan umum pemerintah hindia belanda yang diberlakukan di indonesia. AB diatur dalam stb. 1847 nomor 23, dan diumumkan secara resmi pada tanggal 30 april 1847. AB terdiri dari 37 pasal.
b.       KUH Perdata atau BW
KUH Perdata merupakan ketentuan hukum yang berasal dari produk pemerintahan hindia belanda, yang di undangkan dengan maklumat tanggal 30 April 1847, stb. 1847, nomor 23, sedangkan di indonesia di umumkan dalam stb, 1848. Sedangkan ketentuan hukum yang mengatur hukum perjanjian di atur dalam buku III KUH Perdata.
c.        KUH dagang
d.       Undang undang no 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan tidak sehat.
Yang diatur dalam undang undang ini meliputi ketentuan umum,asas dan tujuan,perjanjian yang dilarang,kegiatan yang dilarang,posisi domain,
e.       Undang undang no 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.
Mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelengaraan pekerjaan konstruksi
f.       Undang undang no 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
3.       Syarat-syarat sahnya perjanjian
Dalam hukum Eropa kontinental, syarat sahnya perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata atau pasal 1365 buku IV NBW (BW Baru) Belanda. Pasal 1320 KUH Perdata  menentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu
1)      Adanya kesepakatan kedua belah pihak
Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau konsensus pada pihak. Kesepakatan ini diatur dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan  kehendak antara satu orang dengan orang lain atau lebih dengan pihak lainnya.
2)      Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
3)      Adanya obyek, dan
4)      Adanya kausa yang halal.
Unsur perjanjian
  1. Ada para pihak
  2. Ada persetujuan antara pihak-pihak tersebut
  3. Ada tujuan yang akan dicapai
  4. Ada prestasi yang akan dilaksanakan
  5. Ada bentuk tertentu,baik lisan maupun tulisan
  6. Ada syarat-syarat tertentu.
Syarat syarat sahnya  perjanjian

B.     Perjanjian Dalam Prepektik Hukum Islam
.    Pengertian hukum perjanjian syari’ah.
Di dalam menjelaskan pengertian hukum perjanjian syariah terdapat 2 arti, baik secara etimologi maupun secara istilah. Dalam bahasa Arab perjanjian itu diartikan sebagai Mu’ahadah Ittifa’. Akan tetapi di dalam Bahasa Indonesia, perjanjian itu dikenal sebagai kontrak. Yang mana dengan hal ini, perjanjian merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok dengan yang lainnya sehingga untuk mengikat antar keduanya baik dirinya sendiri maupun orang lain.
Istilah itu dalam al-Quran terdapat 2 macam yang berhubungan dengan perjanjian yaitu akad dan ‘ahdu (al-‘ahdu). Akad itu hubungannya dengan perjanjian. Sedangkan ‘ahdu merupakan pesan, masa, penyempurnaan dan janji. Dalam hal ini, akad itu disamakan dengan seperti halnya perikatan, sedangkan kata Al-‘Ahdu disamakan dengan perjanjian. Maka dari itu, perjanjian juga dapat diartikan yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan ataupun tidak melakukan apa- apa dan tidak berkaitan dengan kemauan orang lain.
Sedangkan dalam KUHPerdata pasal 1313 yang berbunyi: “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.
Dalam pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan antara para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang. Di dalam melakukan suatu perjanjian itu harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Yang mana terdapat ijab qabul. Agar perjanjian yang telah disepakati dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan tujuan. Dengan adanya ijab qabul ini, suatu perjanjian dapat dinyatakan sebagai perjanjian yang sah sesuai dengan syariat islam. Yang mana terjadi pemindahan suatu kepemilikan antara orang yang satu kepada orang yang lain yang manfaatnya bisa dirasakan oleh kedua belah pihak yang melakukan suatu perjanjian.
Terdapat beberapa pendapat antara lain, menurut Ahmad Azhar Basyir, dia mengatakan akad merupakan perikatan antara ijab dan qabul, yang mana keduanya dapat menetapkan adanya akibat- akibat hukum yang ada yang mengacu kepada obyeknya. Di dalam Peraturan Indonesia Nomor 7/ 46/ PBI/ 2005 yang di dalamnya menetapkan dalam hal Akan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Dalam hal ini setelah pemaparan di atas, maka dapat dikatakan bahwasannya akad adalah suatu perjanjian yang menimbulkan kewajiban untuk berprestasi antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya, yang mana antara keduanya terdapat hubungan timbal balik.
B.     Unsur, rukun dan syarat hukum perjanjian syari’ah.
1.      Unsur-unsur hukum perjanjian syari’ah
·         Pertalian ijab Kabul
·         Dibenarkan oleh syara`
·         Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya
2.      Rukun perjanjian syari’ah
Rukun akad dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang bisa digunakan  untuk mengungkapkan kesepakatan atas dua kehendak atau sesuatu yang bisa disamakan dengan hal itu dari tindakan isyarat atau korespondensi.
Rukun akad yaitu :
1)      Subjek akad (aqidain)
2)      Objek akad (ma’qud ‘alaih)
3)      Substansi akad (Maudhu’ul ‘aqdi)
4)      Ijab qabul
3.      Syarat perjanjian syari’ah
Syarat sahnya perjanjian secara syariah adalah sebagai berikut :
a.       tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya, syarat ini mengandung pengertian setiap orang pada prinsipnya bebas membuat perjanjian tetapi kebebasan itu ada batasannya yaitu tidak boleh bertentangan dengan syariah Islam baik yang terdapat dalam Alquran maupun Hadist. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka akan mempunyai konsekuensi yuridis perjanjian yang dibuat batal demi hukum. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan kausa halal.
b.      harus sama ridha dan ada pilihan, syarat ini mengandung pengertian perjanjian harus didasari pada kesepakatan para pihak secara bebas dan sukarela, tidak boleh mengandung unsur paksaan, kekhilafan maupun penipuan. Apabila syarat ini tidak terpenuhi dan belum dilakukan tindakan pembatalan maka perjanjian yang dibuat tetap dianggap sah. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan kesepakatan (konsensualisme).
c.       harus jelas dan gamblang, sebuah perjanjian harus jelas apa yang menjadi obyeknya, hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak batal demi hukum sebagai konsekuensi yuridisnya. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan adanya obyek tertentu.
Apabila salah satu syarat tidak dapat terpenuhi mempunyai konsekuensi yuridis terhadap perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, sedangkan bagi perjanjian yang sah akan mengikat bagi para pihak sebagai undang-undang dan para pihak wajib melaksanakan perjanjian secara sukarela dengan itikad baik serta tidak bisa memutuskan perjanjian tersebut secara sepihak. Apabila salah satu pihak mengabaikan perjanjian maka akan mendapat sanksi dari Allah di akhirat nanti.
C.     Kedudukan hukum perjanjian syari’ah dalam tata hukum Indonesia.
Sunarjati Hartono mengisyaratkan bahwa fase-fase perkembangan penerapan hukum di Indonesia terjadi dalam 4 fase.
1.       Fase sistem hukum adat
Hingga abad ke-14, masyarakat kepulauan Nusantara hidup dalam suasana hukum adat mereka yang asli. Di Minangkabau, misalnya berlaku hukum adat Minangkabau, di Sulawesi berlaku hukum adat Sulawesi, begitu pula tempat-tempat lain berlaku hukum adat masing-masing.
2.      Fase pengaruh agama Islam
 Sebelum kekuasaan kolonial Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, Hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat baik dalam masyarakat maupun dalam peraturan perundang-undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam pada zaman dahulu pun memakai hukum Islam. Menurut Ismail Sunni, hal ini dikarenakan sebagian besar bangsa Indonesia menganut agama Islam, maka kerajaan-kerajaan Islam Nusantara menggunakan hukum Islam sebagai hukum satu-satunya.
3.      Fase colonial
Setelah kekuasaan VOC diambil alih dan diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda (tahun 1799), secara berangsur-angsur pemerintah kolonial ini menyingkirkan hukum Islam sebagai bagian dari upaya peneguhan kekuasaannya untuk menjajah Indonesia. Teori reseptie in complexu diganti dengan teori receptie yang menyatakan bahwa hukum Islam hanya berlaku apabila telah diresepsi oleh dan keluar dalam bentuk hukum adat.
4.      Fase Indonesia Merdeka
Kondisi berubah bagi hukum Islam dan peluang juridis-konstitusional bagi pemberlakunya semakin terbuka. Lahirnya lembaga keuangan dan bisnis syariah, khususnya bank syariah menjadikannya sebagai pijakan dasar. Beberapa bentuk akad telah diformalkan dalam Peraturan Bank Indonesia. Pada aspek ini, keberlakuan hukum Islam khususnya di bidang perjanjian merupakan suatu kebutuhan dan tuntutan realitas nyata untuk memberikan dasar pijak bagi penyelenggaraan bisnis dan ekonomi syariah yang telah menjadi kenyataan di negeri ini.
Akhirnya kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa kedudukan Hukum Islam (termasuk di dalamnya Hukum Perjanjian Islam) setelah Indonesia merdeka sudah lebih kokoh, tanpa dikaitkan dengan Hukum Adat. Hal ini dapat dilihat dari pembinaan Hukum Nasional yang berprinsip sebagai berikut :
a.       Hukum Islam yang disebut dan direntukan oleh peraturan perundang-undangan dapat berlaku langsung tanpa harus melalui Hukum Adat.
b.      Republik Indonesia wajib mengatur sesuatu masalah sesuai dengan Hukum Islam sepanjang hukum itu hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam.
c.       Kedudukan Hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia sama dan sederajat dengan Hukum Adat dan Hukum Barat.
d.      Hukum Islam juga menjadi sumber pembentukan Hukum Adat, Hukum Barat, dan hukum lainnya yang tumbuh dan berkembang dalam negara Republik Indonesia.
D.    Perbedaan hukum perjanjian syari’ah dengan hukum perjanjian konvensional
Perjanjian dalam hukum islam dikenal dengan istilah al-aqd yang berarti perikatan, permufakatan. Secara terminology fiqih akad di definisikan dengan: :”pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qobul (pernyataan menerima ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan”.
Sementara dalam KUH Perdata disebutkan bahwa perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal”.
Dengan demikian, setelah adanya perjanjian yang menimbulkan perikatan maka timbulah yang dinamakan kontrak atau oleh hasanaddin rahmad disebut perjanjian tertulis sebagai media atau bukti kedua belah pihak.
Perbedaan pokok hukum perjanjian syariah dengan hukum perjanji konvensional :
1.      Landasan filosofis
Hukum perjajian syariah : religious, transedental (ada nilai agama, berasal dari ketentuan Allah.
Hukum perjanjian konvensional: sekuler (tidak ada nilai agama).
2.      Sifat
Hukum perjanjian syariah: individual proporsional.
Hukum perjanjian konvensional: individual / liberal.
3.      Ruang lingkup (subtansi)
Hukum perjanjian syariah: hubungan bidimensional manusia dengan Allah (vertikal), manusia dengan manusia, benda, dan lingkungan (horizontal).
Hukum perjanjian konvensional: hanya hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan benda (horizontal).
4.      Proses terbentuknya
Hukum perjanjian syariah: adanya pengertian al-ahdu (perjanjian) – persetujuan - al – akhdu  (perikatan) (QS.Ali Imron: 76, QS. Al-Maidah: 1 ).
Hukum perjanjian konvensional: adanya perngertian perjanjian (overeenkomst) dan perikatan (verbintebsis) (1313 dan 1233 BW).
5.      Sahnya perikatan
Hukum perjanjian syariah: halal, sepakat, cakap, tanpa paksaan, ijab dan qobul.
Hukum perjanjian konvensional: sepakat, cakap, hal tertentu, halal (1320 BW).
6.      Sumber
Hukum perjanjian syariah: sikap tindak yang didasarkan syariat, persetujuan yang tidak melanggar syariat.
Hukum perjanjian konvensional: persetujuan, undang-undang (1233 BW).


No comments:

Post a Comment

moga bermanfaat ^,^

 

Blogger news

Blogroll

About