
Pengantar ilmu hokum (PHI)
merupakan terjemahan dari mata kuliah inleiding tot de recht
sweetenschap yang diberikan di Recht School (RHS)
atau sekolah tinggi hokum Batavia di jaman Hindia Belanda yang didirikan 1924
di Batavia (Jakarta sek.) istilah itupun sama dengan yang terdapat dalam
undang-undang perguruan tinggi Negeri Belanda Hoger Onderwijswet 1920.
Di zaman kemerdekaan pertama kali menggunakan istilah “pengantar
ilmu hokum .” adalah perguruan tinggi Gajah Mada yang didirikan di yogyakarta
13 maret 1946
Pengantar Hukum Indonesia artinya mengantarkan atau memberikan
pedoman kepada mahasiswa untuk mempelajari hukum yang berlaku di Indonesia
dewasa ini. Berlaku artinya memberi akibat hukum bagi yang melanggarnya, akibat
hukum adalah berupa sanksi. Sanksi itu ada dua bentuknya adalah berupa sanksi
positif seperti penghargaan dan sanksi negatif meliputi pemulihan keadaan,
pemenuhan keadaan, dan hukuman. Hukuman dapat pula dirinci berupa Hukuman dalam
perkara perdata, pidana, tata usaha negara, dan hukuman dalam perkara pidana.
Ruang lingkup PHI
Pengantar ilmu hokum (PHI) merupakan terjemahan
dari mata kuliah inleiding tot de recht sweetenschap yang diberikan di Recht
School (RHS) atau sekolah tinggi hokum Batavia di jaman Hindia Belanda yang
didirikan 1924 di Batavia (Jakarta sek.) istilah itupun sama dengan yang
terdapat dalam undang-undang perguruan tinggi Negeri Belanda Hoger Onderwijswet
1920. Di zaman kemerdekaan pertama kali menggunakan istilah “pengantar
ilmu hokum .” adalah perguruan tinggi Gajah Mada yang didirikan di yogyakarta
13 maret 1946.
Persamaan antara PIH dan PHI yaitu :
ü Baik PIH maupun PHI, sama‐sama merupakan mata kuliah dasar, keduanya
merupakan mata kuliah yang mempelajari hukum.
ü Istilah PIH dan PHI pertama kalinya dipergunakan sejak berdirinya
Perguruan Tinggi Gajah Mada tanggal 13 Maret 1946. Selanjutnya pad atahun 1992
bersamaan dihapusnya jurusan di fakultas hukum istilah PTHI dalam kurikulum
berubah menjadi PHI (Pengantar Hukum Indonesia). Namun demikian adanya
perubahan istilah diatas bukan berarti materi ajarnya juga mengalami perubahan
karena pada dasarnya baik PTHI maupun PHI sama mempelajari tata hukum Indonesia
(hukum positif = ius constitutum).
Perbedaan antara PIH dan PHI :
Perbedaan
antara PIH dengan PHI dapat dilihat dari segi obyeknya yaitu PHI
berobyek pada hukum yang sedang berlaku di Indonesia sekarang ini,
atau obyeknya khusus mengenai hukum positif (ius constitutum). Sedangkan obyek
PIH adalah aturan tentang hukum pada umumnya, tidak terbatas pada
aturan hukum yang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu.
Hubungan antara PIH dengan PHI :
ü PIH mendukung atau menunjang kepada setiap orang yang akan
mempelajari hukum positif Indonesia (Tata Hukum Indonesia).
ü PIH menjadi dasar dari PHI, yang berarti bahwa, untuk mempelajari
PHI (Tata Hukum Indonesia) harus belajar PIH dahulu karena
pengertian-pengertian dasar yang berhubungan dengan hukum diberikan di dalam
PIH. Sebaliknya pokok-pokok bahasan PHI merupakan contoh kongkrit apa yang
dibahas di dalam PIH.
Fungsi dasar PTHI/PHI :
ü Sebagai ilmu yang mengajarkan dan menanamkan dasar-dasar hukum di
Indonesia bagi para calon sarjana hukum yang menuntut ilmu di Indonesia yang
penting bagi mereka untuk memahami pengetahuan dan pengertian tentang hukum
ditingkat pendidikan yang lebih tinggi.
ü Mengantar setiap orang yang akan mempelajari hukum yang sedang
berlaku di Indonesia (hukum positif).
o Maka dapat disimpulkan Pengantar Tata Hukum
Indonesia (PTHI) atau sekarang Pengantar Hukum Indonesia (PHI) adalah suatu
ilmu yang mengajarkan tentang tata hukum Indonesia dan segala seluk beluk yang
terdapat di dalamnya. Jadi yang ,menjadi objek pembicaraan dalam pengantar
hukum Indonesia ialah hanya tata hukum Indonesia (hukum positif) seperti HTN,
HAN, Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Dagang, dll.
B. Hukum
Perdata
Rangkaian aturan hokum yang mengatur tingkah
laku setiap orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban
yang timbul dalam pergaulan masyarakat maupun pergaulan keluarga.
Definisi hokum perdata Menurut Abdul kadir Muhammad
Hukum perdata ialah semua peraturan hokum yang
mengatur hubungan hokum antara orang yang satu dengan orang yang lainnya, (
pribadi yang satu dengan pribadi yang lain).
Azas-Azas hukum Perdata:
Beberapa asas yang terkandung dalam KUHPdt yang
sangat penting dalam Hukum Perdata adalah:
1. Asas
kebebasan berkontrak,
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap
orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam
undang-undang, maupun yang belum diatur dalam undang-undang (lihat Pasal 1338
KUHPdt).
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari
ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt, yang berbunyi: “Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk:
ü Membuat atau tidak membuat perjanjian;
ü Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
ü Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
ü Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
2. Asas
Konsesualisme,
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal
1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat
sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas
ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan
secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh
kedua belah pihak.
3. Asas
Kepercayaan,
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa
setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang
diadakan diantara mereka dibelakang hari
4. Asas Kekuatan
Mengikat,
Asas kekuatan mengi kat ini adalah asas yang
menyatakan bahwa perjanjian hanya mengikat bagi para fihak yang mengikatkan
diri pada perjanjian tersebut dan sifatnya hanya mengikat ke dalam
Pasal 1340 KUHPdt berbunyi: “Perjanjian hanya
berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa
perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang
membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana
dalam Pasal 1317 KUHPdt yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk
kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri,
atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”
Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang
dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan
adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPdt,
tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk
kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak
daripadanya.
Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal
1317 KUHPdt mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal
1318 KUHPdt untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang
yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPdt
mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPdt memiliki ruang
lingkup yang luas.
5. Asas Persamaan
hukum,
Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa
subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban
yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama
lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.
6. Asas
Keseimbangan,
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki
kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai
kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan
prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk
melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik
7. Asas Kepastian
Hukum,
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan
asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat
perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak
ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,
sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan
intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
8. Asas Moral
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar,
yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya
untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam
zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral).
9. Asas
Perlindungan
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa
antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu
mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada
posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak
dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum
sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan asas diatas
merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat
kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai
dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak
10. Asas
Kepatutan.
Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPdt.
Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh
kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya
11. Asas
Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan
bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk
kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal
1340 KUHPdt.
12. Asas
Itikad Baik (Good Faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat
(3) KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur
harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan
yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi
menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi (relative) dan
itikad baik mutlak.
C. Hukum
Dagang
Hukum Dagang dapat di Definisi kan sebagai:
• Hukum yang mengatur soal-soal perdagangan yaitu
soal soal yang timbul karena tingkah laku manusia
• Bagian dari hukum perdata pada umumnya, yang
mengatur masalah perjanjian dan perikatan yang diatur dalam Buku III BW /
serangkaian kaidah yang mengatur tentang dunia usaha atau bisnis dan dalam lalu
lintas perdagangan
• Keseluruhan dari aturan hukum mengenai
perusahaan dalam lalu lintas perdagangan sejauh mana diatur dalam KUHD dan
peraturan tambahan
• Hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan
perusahaan
• Serangkaian norma yang timbul khusus dalam dunia
usaha atau kegiatan perusahaan
Azas-Azas Hukum Dagang:
D. Hukum
Adat
Hukum adat merupakan hukum yang dinamis, berubah
sesuai zaman. Walaupun tidak tertulis di sebuah buku aturan yang jelas, tapi
setiap orang yang mengetahui dan memahaminya akan selalu patuh di bawahnya,
karena hukum adat adalah sesuatu yang sakral dan harus diikuti selama tidak
menyimpang dari rasa keadilan.
Hukum adat yang juga merupakan peraturan adat
istiadat sudah ada semenjak zaman kuno dan zaman pra-Hindu. Hingga akhirnya
masuklah kultur-kultur budaya masyarakat luar yang cukup mempengaruhi kultur
asli pada daerah tersebut. Seperti datangnya kultur Hindu, kultur Islam, dan
kultur Kristen, sehingga hukum adat yang ada pada saat ini merupakan akulturasi
dari berbagai kultur pendatang. Unsur-unsur yang menjadi dasar pembentukan
Hukum Adat adalah sebagai berikut; Pertama adalah kegiatan yang sebenarnya
dengan melalui penelitian-penelitian, Kedua adalah dengan menggunakan kerangka
mengenai unsur-unsur hukum yang dapat dibedakan antara unsur idiil dan unsur
riil. Unsur idiil terdiri dari rasa susila, rasa keadilan, dan rasio manusia,
rata susila merupakan suatu hasrat dalam diri manusia untuk hidup dengan hati
nurani yang bersih. Ketiga adalah dengan mempergunakan ketiga unsur tersebut
sehingga dihasilkan suatu gambaran perbandingan yang konkret.
Azas-azas Hukum Adat:
1. Asas Religio Magis (Magisch-Religieus)
Asas religio magis adalah pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung unsur beberapa sifat atau cara berpikir seperti prelogika, animisme, pantangan, ilmu gaib dan lain-lain.
Asas religio magis adalah pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung unsur beberapa sifat atau cara berpikir seperti prelogika, animisme, pantangan, ilmu gaib dan lain-lain.
2. Asas Komun (Commun)
Asas Komun berarti mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan diri sendiri. Asas korum merupakan segi atau corak yang khas dari suatu masyarakat yang masih hidup sangat terpencil atau dalam hidupnya sehari-hari masih sangat tergantung kepada tanah atau alam pada umumnya. Dalam masyarakat semacam itu selalu terdapat sifat yang lebih mementingkan keseluruhan; lebih diutamakan kepentingan umum daripada kepentingan individual.
Asas Komun berarti mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan diri sendiri. Asas korum merupakan segi atau corak yang khas dari suatu masyarakat yang masih hidup sangat terpencil atau dalam hidupnya sehari-hari masih sangat tergantung kepada tanah atau alam pada umumnya. Dalam masyarakat semacam itu selalu terdapat sifat yang lebih mementingkan keseluruhan; lebih diutamakan kepentingan umum daripada kepentingan individual.
3. Asas Contant (Tunai)
Asas contant atau tunai mengandung pengertian bahwa dengan suatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu juga, dengan serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat atau mengucapkan yang diharuskan oleh Adat. Dengan demikian dalam Hukum Adat segala sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah timbang terima secara contan itu adalah di luar akibat-akibat hukum dan memang tidak tersangkut patu atau tidak bersebab akibat menurut hukum.
Asas contant atau tunai mengandung pengertian bahwa dengan suatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu juga, dengan serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat atau mengucapkan yang diharuskan oleh Adat. Dengan demikian dalam Hukum Adat segala sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah timbang terima secara contan itu adalah di luar akibat-akibat hukum dan memang tidak tersangkut patu atau tidak bersebab akibat menurut hukum.
4. Asas Konkrit ( Visual )
Pada umumnya dalam masyarakat Indonesia kalau melakukan perbuatan hukum itu selalu konkrit (nyata); misalnya dalam perjanjian jual-beli, si pembeli menyerahkan uang/uang panjer.
Pada umumnya dalam masyarakat Indonesia kalau melakukan perbuatan hukum itu selalu konkrit (nyata); misalnya dalam perjanjian jual-beli, si pembeli menyerahkan uang/uang panjer.
E. Hukum
Islam
Hukum Islam merupakan istilah
khas di Indonesia, sebagai terjemahan dari al-fiqh al-Islamy atau
dalam keadaan konteks tertentu dari as-syariah al-Islamy. Istilah
ini dalam wacana ahli hukum Barat disebut Islamic Law. Dalam
al-Qur’an dan sunnah, istilah al-hukm al-Islam tidak ditemukan.
Azas-azas Hukum Islam:
Azas secara etimologi memiliki makna dalah dasar, alas, pondamen (Muhammad Ali, TT : 18). Adapun secara terminologinya Hasbi Ash-Shiddiqie mengungkapkan bahwa hukum Islam sebagai hukum yang lain mempunyai azas dan tiang pokok sebagai berikut :
Azas secara etimologi memiliki makna dalah dasar, alas, pondamen (Muhammad Ali, TT : 18). Adapun secara terminologinya Hasbi Ash-Shiddiqie mengungkapkan bahwa hukum Islam sebagai hukum yang lain mempunyai azas dan tiang pokok sebagai berikut :
1. Azas Nafyul Haraji ; meniadakan kepicikan, artinya hukum Islam
dibuat dan diciptakan itu berada dalam batas-batas kemampuan para mukallaf.
Namun bukan berarti tidak ada kesukaran sedikitpun sehingga tidak ada
tantangan, sehingga tatkala ada kesukaran yang muncul bukan hukum Islam itu
digugurkan melainkan melahirkan hukum Rukhsah.
2. Azas Qillatu Taklif ; tidak membahayakan taklifi, artinya hukum
Islam itu tidak memberatkan pundak mukallaf dan tidak menyukarkan.
3. Azas Tadarruj ; bertahap (gradual), artinya pembinaan hukum Islam
berjalan setahap demi setahap disesuaikan dengan tahapan perkembangan manusia.
4. Azas Kemuslihatan Manusia ; Hukum Islam seiring dengan dan
mereduksi sesuatu yang ada dilingkungannya.
5. Azas Keadilan Merata ; artinya hukum Islam sama keadaannya tidak
lebih melebihi bagi yang satu terhadap yang lainnya.
6. Azas Estetika ; artinya hukum Islam memperbolehkan bagi kita untuk
mempergunakan/memperhatiakn segala sesuatu yang indah.
7. Azas Menetapkan Hukum Berdasar Urf yang Berkembang Dalam
Masyarakat ; Hukum Islam dalam penerapannya senantiasa memperhatikan
adat/kebiasaan suatu masyarakat.
8. Azas Syara Menjadi Dzatiyah Islam ; artinya Hukum yang diturunkan
secara mujmal memberikan lapangan yang luas kepada para filusuf untuk
berijtihad dan guna memberikan bahan penyelidikan dan pemikiran dengan bebas
dan supaya hukum Islam menjadi elastis sesuai dengan perkembangan peradaban
manusia.
F. Hukum Antar Tata Hukum
Hukum
antar tata hukum adalah hukum yang mengatur hubungan antara dua golongan atau
lebih yang tunduk pada ketentuan hukum yang berbeda atau dapat didefinisikan
sebagai hokum yang mempelajari sistim hokum pada suatu Negara tertentu pada
saat tertentu (hokum positive/ius constitum).
Azas-azas Hukum Antan tata Hukum:
G. Hukum
Internasional
Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas
entitas berskala internasional. Pada
awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan
antarnegara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin
kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga
mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada batas
tertentu, perusahaan multinasional dan individu.
Dalam pelaksanaan hukum internasional sebagai
bagian dari hubungan internasional,
dikenal ada beberapa asas atau prinsip hukum antara lain:
1. Pacta Sunt Servanda, yaitu setiap perjanjian yang telah dibuat harus ditaati oleh
pihak-pihak yang mengadakannya.
2. Equality Rights yaitu negara yang saling mengadakan hubungan itu
berkedudukan sama.
3. Reciprositas (asas
timbal-balik) yaitu tindakan suatu negara terhadap negara lain dapat dibalas
setimpal, baik tindakan yang bersifat negatif atau pun posistif.
4. Courtesy yaitu asas saling
menghormati dan saling menjaga kehormatan masing-masing negera.
5. Rebus Sic Stantibus yaitu asas yang dapat digunakan untuk memutuskan perjanjian
secara sepihak apabila terdapat perubahan yang mendasar/fundamental dalam
keadaan yang bertalian dengan perjanjian internasional yang telah disepakati.
6. Asas Teritorial, menurut asas ini, negara melaksanakan hukum bagi semua orang dan
semua barang yang ada di wilayahnya dan terhadap semua barang atau orang yang
berada di wilayah tersebut, berlaku hukum asing (internasional)
sepenuhnya.
7. Asas Kebangsaan, asas ini didasarkan pada kekuasaan negara untuk warga negaranya,
menurut asa ini setiap negara di manapun juga dia berada tetap mendapatkan
perlakuan hukum dari negaranya. Asas ini mempunyai kekuatan ekstrateritorial,
artinya hukum negera tersebut tetap berlaku juga bagi warga negaranya, walaupun
ia berada di negara asing.
8. Asas Kepentingan Umum, asas ini didasarkan pada wewenang negara untuk melindungi dan
mengatur kepentingan dalam kehidupan masyarakat, dalam hal ini negara dapat
menyesuaikan diri dengan semua keadaan dan peristiwa yang berkaitan dengan
kepentingan umum, jadi hukum tidak terikat pada batas-batas wilayah suatu
negara.
H. Hukum
Agraria
Didalam UUPA pengertian agraria dan hukum agraria mempunyai
arti atau makna yang sangat luas. Pengertian agraria meliputi bumi,
air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (Pasal
1 ayat (2). Ruang lingkup agraria menurut UUPA meliputi bumi, air, ruang
angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Ruang lingkup agraria
menurut UUPA sama dengan ruang lingkup sumber daya agraria / sumber daya alam
menurut Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Azas Hukum Agraria:
Hukum agraria di Indonesia menggunakan berbagai
azas antara lain ialah:
1. Azas nasionalisme dimana hanya warga negara Indonesia saja yang
mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh mempunyai hubungan dengan bumi
dan ruang angkasa dengan tidak membedakan antara laki dan perempuan serta warga
negara asli dan keturunan.
2. Asaz hukum adat, mengandung maksud bahwa hukum adat yang digunakan
dalam hukum agraria adalah hukum adat yang sudah dibersihkan dari segi-segi
negatifnya.
3. Asaz dikuasai oleh negara, seperti yang termaktub dalam pasal 2
ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 yang menyatakan bahwa
bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
pada tingkat tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat.
4. Azas fungsi sosial, sebagaimana dimaksud dalam pasal 6
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 yang menyatakan bahwa penggunaan
tanah tidak boleh bertentangan dengan hak-hak orang lain dan kepentingan umum,
kesusilaan serta keagamaan.
5. Azas gotong royong, disebutkan dalam pasal 12 Undang-Undang Pokok
Agraria Nomor 5 tahun 1960 yang menyatakan bahwa segala usaha bersama dalam
lapangan agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan
nasional dalam bentuk koperasi atau dalam bentuk usaha gotong royong lainnya
dan negara dapat bersama-sama dengan pihak lain untuk menyelenggarakan usaha
bersama dalam lapangan agraria.
6. Azas kebangsaan menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia
baik asli maupun warga Indonesia keturunan berhak memiliki hak atas
tanah.
7. Azas unifikasi, menyatakan bahwa hukum agraria disatukan dalam
sebuah undang-undang yang diberlakukan bagi seluruh warga negara Indonesia,
yang berarti hanya ada satu hukum agraria yang berlaku di Indonesia yaitu
Undang-Undang Pokok Agraria.
8. Azas non-diskriminasi dengan tegas menyebutkan bahwa azas yang
melandasi hukum agraria (Undang-Undang Pokok Agraria) adalah bahwa
undang-Undang Pokok Agraria tidak membedakan antara sesama warga negara
Indonesia baik yang asli maupun keturunan asing.
9. Azas pemisahan horizontal. Terdapat pemisahan antara pemilikan hak
atas tanah dengan benda atau bangunan yang terdapat diatas tanah tersebut. Asas
ini merupakan lawan asas vertikal atau asas perlekatan yang menyatakan bahwa
segala apa yang melekat pada suatu benda atau yang merupakan satu bagian dengan
benda tersebut dianggap menjadi satu dengan bagian tersebut atau dengan kata
lain tidak terdapat pemisahan antara hak atas tanah dengan bangunan yang
terdapat diatasnya.
I. Hukum Tata Negara
Hukum tata negara di belamda dikenal dengan istilah
staatsrech. Di perancis hukum tata negara disebut dengan Droit Constitutionnel.
Di Jerman disebut dengan Verfassungrecht dan di Inggris disebut dengan istilah
Constitutionnal law. Menurut Van Volenhoven, adalah: Hukum yang mengatur
seluruh masyarakat hukum atasan dan masyarakat hukum bawahan menurut
tingkatannya dan menentukan wilayah lingkungan masyarakatnya serta menentukan
badan dan fungsinya masing-masing serta susunan dan wewenang badan tersebuta.
Asas-asas Hukum Tata Negara yaitu:
1. Asas Pancasila
Setiap negara didirikan atas filsafah bangsa. Filsafah itu
merupakan perwujudan dari keinginan rakyat dan bangsanya. Dalam bidang hukum,
pancasila merupakan sumber hukum materil, karena setiap isi peraturan
perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengannya dan jika hal itu terjadi,
maka peraturan tersebut harus segera di cabut. Pancasila sebagai Azas Hukum
Tata Negara dapat dilihat dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
2. Asas Hukum, Kedaulatan rakyat dan Demokrasi
Asas kedaulatan dan demokrasi menurut jimly Asshiddiqie gagasan
kedaulatan rakyat dalam negara Indonesia, mencari keseimbangan individualisme
dan kolektivitas dalam kebijakan demokrasi politik dan ekonomi. Azas kedaulatan
menghendaki agar setiap tindakan dari pemerintah harus berdasarkan dengan
kemauan rakyat dan pada akhirnya pemerintah harus dapat dipertanggung jawabkan
kepada rakyat melalui wakil-wakilnya sesuai dengan hukum.
3. Asas Negara Hukum
Yaitu negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan
kepada warga negaranya. Asas Negara hukum (rechtsstaat) cirinya yaitu pertama,
adanya UUD atau konstitusi yang memuat tentang hubungan antara penguasa dan
rakyat, kedua adanya pembagian kekuasaan, diakui dan dilindungi adanya hak-hak
kebebasan rakyat.
4. Asas Demokrasi
Adalah suatu pemerintahan dimana rakyat ikut serta memerintah baik
secara langsung maupun tak langsung. Azas Demokrasi yang timbul hidup di
Indonesia adalah Azas kekeluargaan.
5. Asas Kesatuan
Adalah suatu cara untuk mewujudkan masyarakat yang bersatu dan
damai tanpa adanya perselisihan sehingga terciptanya rasa aman tanpa khawatir
adanya diskriminasi.
6. Asas Pembagian Kekuasaan dan Check Belances
Yang berarti pembagian kekuasaan negara itu terpisah-pisah dalam
beberapa bagian baik mengenai fungsinya.
7. Asas legalitas
Dimana asas legalitas
tidak dikehendaki pejabat melakukan tindakan tanpa berdasarkan undang-undang
yang berlaku. Atau dengan kata lain the rule of law not of man dengan dasar
hukum demikian maka harus ada jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun
berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi.
J. Hukum Administrasi Negara
Hukum administrasi negara adalah peraturan hukum
yang mengatur administrasi, yaitu hubungan antara warga negara dan
pemerintahnya yang menjadi sebab hingga negara itu berfungsi. (R. Abdoel
Djamali).
Asas-Asas Hukum Administrasi Negara:
1. Asas yuridikitas (rechtmatingheid): yaitu bahwah setiap tindakan
pejabat administrasi negara tidak boleh melanggar hukum (harus sesuai dengan
rasa keadilan dan kepatutan).
2. Asas legalitas (wetmatingheid): yaitu bahwah setiap tindakan
pejabat administrasi negara harus ada dasar hukumnya (ada peraturan dasar yang
melandasinya). Apalagi indonesia adalah negara hukum, maka asas legalitas
adalah hal yang paling utama dalam setiap tindakan pemerintah.
3. Asas diskresi yaitu kebebasan dari seorang pejabat
administrasi negara untuk mengambil keputusan berdasarkan pendapatnya sendiri
tetapi tidak bertentangan dengan legalit.
K. Hukum Pajak
Hukum
pajak adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi
wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya
kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan
bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antar negara &
orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (wajib
pajak).
Asas pemungutan:
Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal "The
Four Maxims", asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
· Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau
asas keadilan): pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan
kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak
diskriminatif terhadap wajib pajak.
· Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus
berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.
· Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu
atau asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib
pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima
penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.
· Asas Efficiency (asas efisien atau asas ekonomis): biaya
pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya
pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.
Asas Pengenaan Pajak:
Agar
negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang pribadi atau
badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan negara
tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai
contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan
berdasarkan undang-undang. Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan,
diperlukan asas-asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara
untuk mengenakan pajak.
Terdapat
beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan
wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak
penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan
untuk mengenakan pajak adalah:
1. Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence
principle): berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang
diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi
tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau
apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini,
tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal.
Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan
pajak terhadap penduduk-nya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan)
dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara
itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (world-wide income
concept).
2. Asas sumber: Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan
pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau
badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau
diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber
yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai
siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut
sebab yang menjadi landasan penge¬naan pajak adalah objek pajak yang timbul
atau berasal dari negara itu. Contoh: Tenaga
kerja asing bekerja di Indonesia maka dari
penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.
3. Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas
kewarganegaraan (nationality/citizenship principle): Dalam asas ini,
yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang
atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi
persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti
halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas
nasionalitas ini dilakukan dengan cara menggabungkan asas nasionalitas dengan
konsep pengenaan pajak atas world
wide income.
L. Hukum
Pidana
Hukum Pidana adalah
keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang
dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang
dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya. Menurut Prof. Moeljatno, S.H Hukum
Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara,
yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk
ASAS-ASAS HP DALAM KUHP (WvS)
Azas Berlakunya Hukum Pidana
Waktu :
1. Azas Legalitas (Nullum delictum noella poena sine praevia
lege poenali)
Dasar : Pasal 1 ayat 1 KUHP : Tiada suatu perbuatan
dapat dipidana kecuali atas kekuatan peraturan pidana
dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
Azas ini melindungi rakyat dari
kesewenangan penguasa, dan merupakanfungsi instrumental bagi
penguasa.
2. Azas Retroaktif
Pasal 1 ayat (2) KUHP : Jika sesudah perbuatan
pidana dilakukan terjadiperubahan dalam
perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
Perubahan :
Hukum pidana : sanksi
pidana, sifat tindak pidana, daluwarsa
Hukum perdata : batas
umur
Pasal 1 ayat (2) KUHP ini melemahkan :
Azas legalitas : memperbolehkan suatu aturan hukum pidana berlaku
surut;
Azas lex temporis delicti : memperbolehkan suatu tindak pidana diadili oleh
peraturan hukum yang belum berlaku pada saat tindak pidana dilakukan
Asas-asas hukum pidana ini bersumber dalam bagian Buku I
menyangkut asas-asashukum pidana dan uraian umum dari ketentuan Pasal 1 sampai
dengan Pasal 8 KUHP.Berikut penjelasan mengenai Asas-asas Hukum Pidana, yaitu
1. Asas Teritorial
Berlaku bagi setiap orang yg melakukan tin pdna di wil indonesia
(pasal 2 kuhp).
tidak perlu berada di wil. Indonesia-di luar negeri ; berada
di perahu Indonesia (Pasal 3)
“tempat terjadinya delik/locus delicti”
2. Asas personalitas (nasional aktif)
Berlaku bagi SETIAP W N I, yg melakukan TP dalam negeri maupun
luar negeri.
per-UU pidana mengikuti orangnya (WNI)
3. Asas Nasional Aktif
KEJAHATAN :
· KEAMANAN NEGARA
· Indonesia >> kejahatan, di luar neg
tempat kejahatan dilakukan
o diancam pidana
(Pasal 4 ke 1, 2, 3, 4 batasannya dalam Pasal 5 dan Pasal 6 KUHP)
PERKECUALIAN:
UU No. 4/1976 memperluas asas teritorial Psl. 3 KUHP (ke pesawat
udara) dan
4. Asas Universal
Psl. 4 ke-4 KUHP (ke beberapa kejahatan penerbangan);
o UU No. 22/1997 berlaku terhadap barang siapa
melakukan TP narkotika dalam Pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84 dan Pasal
87, di luar wilayah Negara Republik Indonesia (Pasal 97).
o UU No. 31/1999 berlaku terhadap tiap
orang di luar wilayah RI yang memberikan bantuan untuk terjadinya TPK
dalam Pasal 2, 3, 5 s/d 14”(Pasal 16).
o Perpu No. 1/2002 jo. UU No. 15/2003 berlaku berlaku
terhadap setiap orang yang melakukan atau bermaksud melakukan TP
terorisme di negara lain
o UU No. 15/2002 (TP Pencucian Uang) berlaku
terhadap WNI/korporasi Indonesia di luar wilayah RI
yang memberikan bantuan untuk terjadinya TPPU dalam Pasal 3 (Pasal
7).
M.Hukum Acara:
1. Hukum Acara pidana
Rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana
badan-badan pemerintah yang berkuasa, yakni kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum
pidana.
Asas-Asas Hukum Acara Pidana:
ü Equality Before the Law
Perlakuan yang sama atas
setiap diri orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.
(Penjelasan umum angka 3 huruf A KUHAP)
ü Peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan
Peradilan yang
harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur,
dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat
peradilan. (Penjelasan umum Angka 3 Huruf E)
ü Presumption of Innocence
Setiap orang yang
disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang
pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. (Penjelasan umum
angka 3 huruf C)
ü Opportunitas
Monopoli penuntut umum,
tidak wajib menuntut seseorang jika menurut pertimbangannya akan merugikan
kepentingan umum. (Pasal 36 C UU 4/2004)
ü Peradilan Terbuka untuk Umum
Untuk keperluan
pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk
umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak
(Pasal 153 ayat 3 KUHAP)
Semua putusan
pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang
terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP)
ü Peradilan yang Bebas dan Tidak Memihak
ü Akusatoir (Tersangka Menjadi Subyek Pemeriksaan, Bukan Obyek)
Supaya pemeriksaan
dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya, maka
tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib
dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa.
(Penjelasan Pasal 52 KUHAP)
ü Pemeriksaan dengan Hadirnya Terdakwa
Jika terdakwa
ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan
yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim
ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi. (Pasal 154 ayat
4 KUHAP)
ü Hak Mendapat Bantuan Hukum
Guna kepentingan
pembelaan, tersangka, atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang
atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat
pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini. (Pasal
54 KUHAP)
ü Hak Mendapat Kompensasi dan Rehabilitasi
Tersangka,
terdakwa, atau terpidana berhak menuntut kerugian karena ditangkap, ditahan,
dituntut, dan diadili atau dikarenakan tindakan lain, tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum
yang diterapkan. (Pasal 95 KUHAP)
2. Hukum Acara Perdata
Hukum Acara Perdata adalah rangkaian
peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap
pihak orang lain di muka pengadilan itu harus bertindak untuk melaksanakan
berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata (Wirjono Prodjodikoro).
Hukum Acara disebut juga Hukum Formal, jadi
Hukum Acara Perdata disebut juga Hukum Perdata Formal, yang dimuat dalam
Hetherziene Indonesisch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia Baru (RIB).
Asas-Asas Hukum Acara
Perdata
ü Hakim bersifat menunggu
Dalam perkara perdata, inisiatif untuk mengajukan perkara
kepengadilan sepenuhnya terletak pada pihak yang berkepentingan.
ü Hakim dilarang menolak perkara
Bila suatu perkara sudah masuk ke pengadilan hakim tidak boleh
menolak untuk memeriksan dan mengadili perkara tersebut, dengan alasan hukumnya
tidak atau kurang jelas. Bila hakim tidak dapat menemukan hukum tertulis
maka ia wajib menggali hukum yang hidup dalam masyarakat atau mencari dalam
Yurisprudensi (Ps 14 ayat 1 UU No. 14/ 1970)
ü Hakim bersifat aktif
Hakim membantu
para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya untuk mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan
biaya ringan.
ü Persidangan yang terbuka
Asas ini dimaksudkan agar ada kontrol sosial dari masyarakat atas
jalannya sidang peradilan sehingga diperoleh keputusan hakim yang obyektif,
tidak berat sebelah dan tidak memihak (Ps 17 dan 18 UU no 14/1970)
ü Kedua belah pihak harus didengar
Dalam perkara perdata, para pihak harus diperlakukan sama dan
didengar bersama-sama serta tidak memihak. Pengadilan mengadili dengan tidak
membeda-bedakan orang, hal ini berarti bahwa didalam Hukum Acara Perdata hakim
tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja, pihak lawannya
harus diberi kesempatan untuk memberikan keterangan dan pemeriksaan bukti harus
dilakukan dimuka sidang yang dihadiri oleh keduabelah pihak.
ü Putusan harus disertai alasan
Bila proses pemeriksaan perkara telah selesai, maka hakim
memutuskan perkara tersebut. Keputusan hakim harus memuat alasan-alasan yang
menjadi dasar untuk mengadilinya. Alasan-alasan yang dicantumkan tersebut
merupakan pertanggungjawaban hakim atas keputusannya kepada pihak-pihak yang
berperkara dan kepada masyarakat sehingga mempunyai nilai obyektif dan mempunyai
wibawa
ü Sederhana, cepat dan biaya ringan
Sederhana yaitu acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak
berbelit-belit. Cepat menunjuk pada jalannya peradilan banyak formalitas
merupakan hambatan bagi jalannya peradilan (mis. Perkara tertunda
bertahun-tahun karena saksi tidak datang atau para pihak bergantian tidak
datang bahkan perkara dilanjutkan oleh ahli waris). Biaya ringan maksudnya agar
tidak memakan biaya yang benyak.
ü Obyektivitas
Hakim tidak boleh bersikap berat sebelah dan memihak. Para pihak
dapat mengajukan keberatan, bila ternyata sikap hakim tidak obyektif.
ü Hak menguji tidak dikenal
Hakim Indonesia tidak mempunyai hak menguji undang-undang. Hak ini
tidak dikenal oleh UUD. Dalam pasal 26 ayat 1 UU tentang ketentuan pokok
kekuasaan kehakiman (UU No. 14/1970) dinyatakan bahwa Hak menguji diberikan
kepada mahkamah agung terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatannya
lebih rendah dari UU dan dapat menyatakan peraturan perundang-undangan tersebut
tidak sah
3. Hukum Acara Tata usaha Negara
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara merupakan hukum yang secara bersama-sama diatur dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang – Undang
tersebut dapat dikatakan sebagai suatu hukum acara dalam arti luas,
karena undang-undang ini tidak saja mengatur tentang cara-cara berpekara di
Pengadilan Tata Usaha Negara, tetapi juga sekaligus mengatur tentang kedudukan,
susunan dan kekuasaan dari Pengadilan Tata Usaha Negara.
Asas Hukum Acara PTUN, terdiri dari :
ü Asas praduga Rechtmating ( Vermoeden van rechtmatigheid,
prasumptio iustae causa). Ini terdapat pada pasal 67ayat 1UU PTUN.
ü Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan
KTUN yang dipersengketakan, kecuali ada kepentingan yang mendesak dari
penggugat. Terdapat pada pasal 67ayat 1dan ayat 4 huruf a.
ü Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem.
ü Asas kesatuan beracara dalam perkara sejenis baik dalam
pemeriksaan di peradilan judex facti, maupun kasasi dengan MA sebagai Puncaknya.
ü Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas
dari segala macam campur tangan kekuasaan yang lain baik secara langsung dan
tidak langsung bermaksud untuk mempengaruhi keobyektifan putusan peradilan.
Pasalb 24 UUD 1945 jo pasal 4 4 UU 14/1970.
ü Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan ringan (
pasal 4 UU 14/1970).
ü Asas hakim aktif. Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok
sengketa hakim mengadakan rapat permusyawaratn untuk menertapakan apakah
gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar atau dilengkapi dengan
pertimbangan (pasal 62 UU PTUN), dan pemeriksaan persiapan untuk mengetahui
apakah gugatan penggugat kurang jelas, sehingga penggugat perlu untuk
melengkapinya (pasal 63 UU PTUN).
ü Asas siding terbuka untuk umum. Asas inimembawa konsekuensi bahwa
semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila di
ucapkan dalam siding terbuka untuk umum (pasal 17 dan pasal 18 UU 14/1970 jo
pasal 70 UU PTUN)
ü Asas peradilan berjenjang. Jenjang peradilan di mulai dari tingkat
yang paling bawah yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara, kemudian Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara, dan puncaknya adalah Mahkamah Agung.
ü Asas pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan.
Asas ini menempatkan pengadilan sebagai ultimatum remedium. ( pasal 48 UU
PTUN).
ü Asas Obyektivitas. Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim
atau panitera wajib mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga
sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubngan suami atau istri
meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum atau
antara hakim dengan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan
sebagaimana yang di sebutkan di atas, atau hakim atau paniteratersebut
mempunyai kepentingan langsung dan tidak langsung dengan sengketanya. (pasal 78
dan pasal 79 UU PTUN).
No comments:
Post a Comment
moga bermanfaat ^,^