Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate
social responsibility (untuk selanjutnya disebut CSR) mungkin
masih kurang popular dikalangan pelaku usaha nasional. Namun, tidak berlaku
bagi pelaku usaha asing. Kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan secara
sukarela itu, sudah biasa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional
ratusan tahun lalu.
Berbeda dengan kondisi Indonesia, di sini
kegiatan CSR baru dimulai beberapa tahun belakangan. Tuntutan masyarakat
dan perkembangan demokrasi serta derasnya arus globalisasi dan pasar bebas,
sehingga memunculkan kesadaran dari dunia industri tentang pentingnya
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Walaupun sudah lama
prinsip-prinsip CSR diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam lingkup
hukum perusahaan. Namun amat disesalkan dari hasil survey yang dilakukan oleh
Suprapto pada tahun 2005 terhadap 375 perusahaan di Jakarta menunjukkan bahwa
166 atau 44,27 % perusahaan menyatakan tidak melakukan kegiatan CSR dan 209
atau 55,75 % perusahaan melakukan kegiatan CSR. Sedangkan bentuk CSR yang
dijalankan meliputi; pertama, kegiatan kekeluargaan (116 perusahaan), kedua,
sumbangan pada lembaga agama (50 perusahaan), ketiga, sumbangan pada yayasan social
(39) perusahaan) keempat, pengembangan komunitas (4 perusahaan). [1]Survei ini juga
mengemukakan bahwa CSR yang dilakukan oleh perusahaan amat tergantung pada
keinginan dari pihak manajemen perusahaan sendiri.
Hasil Program Penilaian Peringkat Perusahaan
(PROPER) 2004-2005 Kementerian Negara Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa dari
466 perusahaan dipantau ada 72 perusahaan mendapat rapor hitam, 150 merah, 221
biru, 23 hijau, dan tidak ada yang berperingkat emas. Dengan begitu banyaknya
perusahaan yang mendapat rapor hitam dan merah, menunjukkan bahwa mereka tidak
menerapkan tanggung jawab lingkungan. Disamping itu dalam prakteknya tidak
semua perusahaan menerapkan CSR. Bagi kebanyakan perusahaan, CSR dianggap
sebagai parasit yang dapat membebani biaya “capital maintenance”.
Kalaupun ada yang melakukan CSR, itupun dilakukan untuk adu gengsi. Jarang ada
CSR yang memberikan kontribusi langsung kepada masyarakat.
Kondisi tersebut makin populer tatkala DPR
mengetuk palu tanda disetujuinya klausul CSR masuk ke dalam UU No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan UU No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal (UU PM). Pasal 74 UU PT yang menyebutkan bahwa setiap
perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungan. Jika tidak dilakukan, maka perseroan tersebut bakal dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Aturan lebih tegas sebenarnya juga sudah ada di
UU PM Dalam pasal 15 huruf b disebutkan, setiap penanam modal berkewajiban
melaksankan tanggung jawab sosial perusahaan. Jika tidak, maka dapat dikenai sanksi
mulai dari peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan
usaha dan/atau fasilitas penanaman modal, atau pencabutan kegiatan usaha
dan/atau fasilitas penanaman modal (pasal 34 ayat (1) UU PM).
Tentu saja kedua ketentuan undang-undang
tersebut membuat fobia sejumlah kalangan terutama pelaku usaha lokal. Apalagi
munculnya Pasal 74 UU PT yang terdiri dari 4 ayat itu sempat mengundnag
polemik. Pro dan kontra terhadap ketentuan tersebut masih tetap berlanjut
sampai sekarang. Kalangan pelaku bisnis yang tergabung dalam Kadin
dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang sangat keras menentang kehadiran
dari pasal tersebut. Pertanyaan yang selalu muncul adalah kenapa CSR harus
diatur dan menjadi sebuah kewajiban ? Alasan mereka adalah CSR kegiatan
di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam
perundang-undangan formal, seperti : ketertiban usaha, pajak atas keuntungan
dan standar lingkungan hidup. Jika diatur sambungnya selain bertentangan dengan
prinsip kerelaan, CSR juga akan memberi beban baru kepada dunia usaha. Apalagi
kalau bukan menggerus keuangan suatu perusahaan.
Pikiran-pikiran yang menyatakan kontra terhadap
pengaturan CSR menjadi sebuah kewajiban, disinyalir dapat menghambat iklim
investasi baik bagi perseroan yang sudah ada maupun yang akan masuk ke
Indonesia. Atas dasar berbagai pro dan kontra itulah tulisan ini diangkat untuk
memberikan urun rembug terhadap pemahaman CSR dalam perspektif kewajiban hukum.
Bab II
Pembahasan
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang dan problematika yang muncul tersebut di atas maka
permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimanakah esensi
pengaturan hukum CSR dan implikasinya dalam meningkatkan iklim investasi
di Indonesia ?
C. Pembahasan
1. Esensi Pengaturan CSR sebagai Kewajiban Hukum
Sebelum membahas lebih jauh mengenai
hubungan antara CSR dan implikasinya terhadap iklim penanaman modal perlu
kiranya mengetahui apa yang dimaksud dengan CSR. Sampai saat ini belum ada
kesamaan pandang mengenai konsep dan penerapan CSR, meskipun kalangan dunia
usaha menyadari bahwa CSR ini amat penting bagi keberlanjutan usaha suatu
perusahaan. Gurvy Kavei mengatakan, bahwa praktek CSR dipercaya menjadi
landasan fundamental bagi pembangunan berkelanjutan (sustainability
development), bukan hanya bagi perusahaan, tetapi juga bagi stakeholders dalam
arti keseluruhan. [2] Hal
tersebut terlihat dari berbagai rumusan CSR yaitu sebagai berikut :
- Dewan
Bisnis Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan (WBCSD) menyebutkan CSR
sebagai "melanjutkan komitmen bisnis untuk berperilaku etis dan
berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi sambil meningkatkan kualitas
hidup tenaga kerja dan keluarga mereka sebagai wol sebagai masyarakat
lokal dan masyarakat besar".
- John
Elkingston’s menegaskan "Corporate Social Responsibility (CSR) adalah
suatu konsep bahwa organisasi terutama (tetapi tidak hanya) perusahaan,
memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan kepentingan pelanggan, karyawan,
pemegang saham, komunitas, dan pertimbangan ekologi dalam semua aspek
operasi mereka. Kewajiban ini berkunjung ke melampaui kewajiban hukum
mereka untuk mematuhi undang-undang ".[3]
- Penjelasan
pasal 15 huruf b UU Penanaman Modal menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
“tanggung jawab sosial perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat pada
setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang
serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya
masyarakat setempat “. [4]
- Pasal
1 angka 3 UUPT , tangung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen
perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan
guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik
bagi perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya.
Dari pengertian-pengertian CSR tampak
belum adanya keseragaman ataupun persamaan persepsi dan pandangan mengenai CSR.
Terlihat dari ketentuan dalam UUPM dan UUPT, melihat tanggung jawab sosial pada
titik pandang yang berbeda. UUPM lebih menekankan CSR sebagai upaya perusahaan
untuk menciptakan harmonisasi dengan lingkungan di mana ia beroperasi.
Sedangkan UUPT justru mencoba memisahkan antara tanggung jawab sosial dengan
tanggung jawab lingkungan. UUPM bertolak dari konsep tanggung jawab perusahaan
pada aspek ekonomi, sosial dan lingkungan (triple bottom line). Namun
demikian keduanya mempunyai tujuan yang sama mengarah pada CSR sebagai sebuah
komitmen perusahaan terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan dalam upaya
meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan.
Jika ditarik pada berbagai pengertian di atas
maka CSR merupakan komitmen perusahaan terhadap kepentingan pada stakeholders
dalam arti luas dari sekedar kepentingan perusahaan belaka. Dengan kata lain,
meskipun secara moral adalah baik bahwa perusahaan maupun penanam modal
mengejar keuntungan, bukan berarti perusahaan ataupun penanam modal
dibenarkan mencapai keuntungan dengan mengorbankan kepentingan-kepentngan
pihak lain yang terkait.
Dengan adanya ketentuan CSR sebagai sebuah
kewajiban dapat merubah pandangan maupun perilaku dari pelaku usaha, sehingga
CSR tidak lagi dimaknai sekedar tuntutan moral an-sich, tetapi diyakinkan
sebagai kewajiban perusahaan yang harus dilaksanakan.
Kesadaran ini memberikan makna bahwa perusahaan
bukan lagi sebagai entitas yang mementingkan diri sendiri, alienasi dan atau
eksklusifitas dari lingkungan masyarakat, melainkan sebuah entitas usaha yang
wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosial. Sehingga tidak
berkelebihan jika ke depan CSR harus dimaknai bukan lagi hanya sekedar
responsibility karena bersifat voluntary, tetapi harus dilakukan sebagai
mandatory dalam makna liability karena disertai dengan sanksi.[5]
Menyikapi kondisi yang ada tersebut, bahwa hukum
sebagai produk kebijakan politik tidak selamanya merupakan conditio
sine qua non bagi tujuan yang hendak dicapai. Hal ini menunjukkan
hukum mempunyai batas-batas kemampuan tertentu untuk mengakomodasi nilai-nilai
yang tumbuh dan hidup dalam komunitas masyarakat, oleh karena itu Roscoe Pound
menyatakan bahwa tugas hukum yang utama dalah ”social engineering”.
Dalam doktrin ini dikatakan bahwa hukum harus dikembangkan sesuai dengan
perubahan-perubahan nilai sosial. Untuk itu sebaiknya diadakan rumusan-rumusan
kepentingan yang ada dalam masyarakat yaitu kepentingan pribadi, masyarakat dan
umum. [6]
Dengan demikian hukum bagi Roscoe Pound
merupakan alat untuk membangun masyarakat (law is a tool of social
engineering). Sehingga hokum bukan saja berdasarkan pada akal, tetapi juga
pengalaman. Akal diuji oleh pengalaman dan pengalaman yang dikembangkan oleh
akal.
Konteks tanggung jawab social (CSR) dalam hal ini
ada kewajiban bertanggung jawab atas perintah undang-undang, dan memperbaiki
atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apa pun yang telah
ditimbulkan. Tanggung jawab social berada pada ranah moral, sehingga
posisinya tidak sama dengan hokum. Moral dalam tanggung ajwab social lebih
mengarah pada tindakan lahiriah yang didasarkan sepenuhnya dari sikap batiniha,
sikap inilah yang dikenal dengan “moralitas” yaitu sikap dan perbuatan baik
yang betul-betul tanpa pamrih. Sedangkan tanggung jawab hokum lebih menekankan
pada ksesuaian sikap lahiriah dengan aturan, meskipun tindakan tersbeut secara
obyektif tidak salah, barangkali baik dan sesuai dengan pandanan moral, hokum,
dan nilai-nilai budaya masyarakat. Namun demikian kesesuaian saja tidak dapat dijadikan
dasar untuk menarik suatu kesimpulan karena tidak tahu motivasi atau maksud
yang mendasarinya.
Bila dikaitkan dengan teori tanggung jawab
sosial dengan aktivitas perusahaan, maka dapat dikatakan bahwa tanggung jawab
sosial lebih menekankan pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan stakeholders dalam
arti luas dari pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan perusahaan
belaka. [7]
Dengan demikian konsep tanggung jawab sosial lebih menekankan pada tanggung
jawab perusahaan atas tindakan dan kegiatan usahanya yang berdampak pada
orang-orang tertentu, masyarakat dan lingkungan di mana perusahaan- perusahaan melakukan
aktivitas usahanya sedemikian rupa, sehingga tidak berdampak negatif pada
pihak-pihak tertentu dalam masyarakat. Sedangkan secara positif hal ini
mengandung makna bahwa perusahaan harus menjalankan kegiatannya sedemikian
rupa, sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang lebih baik dan
sejahtera.
Kondisi Indonesia masih menghendaki adanya CSR
sebagai suatu kewajiban hukum. Kesadarna akan adanya CSR masih rendah,
kondisinya yang terjadi adalah belum adanya kesadaran moral yang cukup dan
bahkan seringkali terjadi suatu yang diatur saja masih ditabrak, apalagi
kalau tidak diatur. Karena ketaatan orang terhadap hukum masih sangat rendah.
CSR lahir dari desakan masyarakat atas perilaku perusahaan yang
mengabaikan tanggung jawab sosial, seperti : perusakan lingkungan, eksploitasi
sumber daya alam, “ngemplang” pajak, dan menindas buruh. Lalu, kebanyakan
perusahaan juga cenderung membuat jarak dengan masyarakat sekitar.
Jika situasi dan kondisi yang terjadi masih
seperti tersebut di atas, maka hukum harus berperan. Tanggung jawab perusahaan
yang semula adalah tanggung jawab non hukum (responsibility) akan
berubah menjadi tanggung jawab hukum (liability). Otomatis perusahaan
yang tidak memenuhi perundang-undangan dapat diberi sanksi.
2. CSR dan Implikasinya pada Iklim Penanaman
Modal di Indonesia
Selanjutnya akan dibahas mengenai bagaimana CSR
dan implikasinya terhadap iklim penanaman modal di Indonesia. Penanaman modal
dalam UUPM No. 25 Tahun 2007, Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa
”Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam
modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah
negara Republik Indonesia”.
Kehadiran UUPM NO. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal diharapkan, mampu memberikan angin segar kepada investor dan
memberikan iklim investasi yang menggairahkan. Kenyamanan dan ketertarikan
investor asing terutama apabila terciptanya sebuah kepastian hukum dan jaminan
adanya keselamatan dan kenyamanan terhadap modal yang ditanamkan.
Secara garis besar tujuan dari dikeluarkannya UU PM tentunya disamping
memberikan kepastian hukum juga adanya transparansi dan tidak membeda-bedakan
serta memberikan perlakuan yang sama kepada investor dalam dan luar negeri.
Dengan adanya kepastian hukum dan jaminan
kenyamanan serta keamanan terhadap investor, tentunya akan meningkatkan daya
saing Indonesia di pasar global yang merosot sejak terjadinya krisis moneter.
Berkaitan dengan hal tersebut, penanaman modal harus menjadi bagian dari
penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk
menigkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja,
meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan
kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang
berdaya saing.
Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya
dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat iklim investasi dapat
diatasi, antara lain melalui perbaikan koordinasi antarinstansi Pemerintah
Pusat dan Daerah, penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian hukum di bidang
penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha
yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha. Dengan perbaikan
faktor tersebut, diharapkan realisasi penanaman modal akan membaik secara
signifikan.
Suasana kebatinan yang diharapkan oleh pembentuk
UU PM, didasarkan pada semangat ingin menciptakan iklim penanaman modal yang
kondusif yang salah satu aturannya mengatur tentang kewajiban untuk menjalankan
CSR. Bagi pelaku usaha (pemodal baik dalam maupun asing)
memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan CSR baik dalam
aspek lingkungan, sosial maupun budaya.
Penerapan kewajiban CSR sebabagaimana
diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal , Pasal 15 huruf b
menyebutkan ”Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab
sosial perusahaan”. Jika tidak dilakukan maka dapat diberikan sanksi
administrasi berupa peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan,
hingga pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal (Pasal 34
ayat (1) UU No. 25 Tahun 2007). Sedangkan yang dimaksud “tanggung jawab sosial
perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman
modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan
lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. [8]
Ilustrasi yang menggambarkan keinginan dari
berbagai anggota dewan pada waktu itu adalah kewajiban CSR terpaksa dilakukan
lantaran banyak perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia, lepas
dari tanggung jawabnya dalam mengelola lingkungan. ”Pengalaman menunjukkan,
bahwa banyak sekali perusahaan yang hanya melakukan kegiatan operasional tetapi
kurang sekali memberikan perhatian terhadap kepentingan sosial”. Beberapa
contoh kasus , seperti : lumpur Lapindo di Porong, lalu konflik masyarakat
Papua dengan PT. Freeport Indonesia, konflik masyarakat Aceh dengan Exxon
Mobile yang mengelola gas bumi di Arun, pencemaran oleh Newmont di Teluk Buyat
dan sebagainya.
Alasan lainnya adalah kewajiban CSR juga sudah
diterapkan pada perusahaan BUMN. Perusahaan-perusahaan pelat merah telah lama
menerapkan CSR dengan cara memberikan bantuan kepada pihak ketiga dalam bentuk
pembangunan fisik. Kewajiban itu diatur dalam Keputusan Menteri BUMN maupun
Menteri Keuangan sejak tahun 1997. ”oleh karena itu, perusahaan yang ada di
Indonesia sudah waktunya turut serta memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan
lingkungan dimana perusahaan itu berada”. [9]
Tren globalisasi menunjukkan hal-hal yang
berkaitan dengan lingkungan sudah menjadi hal yang mendesak bagi kepentingan
umat manusia secara keseluruhan. Lingkungan hidup yang sehat merupakan bagian
dari hak azasi manusia. Di Inggris dan Belanda misalnya, CSR menjadi sebuah
penilaian hukum oleh otoritas pasar modal, disamping penilaian dari publik
sendiri. ”Kalau perusahaan itu tidak pernah melakukan CSR justru kinerja saham
di bursa saham kurang bagus”.
CSR dalam konteks penanaman modal harus
dimaknai sebagai instrumen untuk mengurangi praktek bisnis yang tidak etis.
Oleh karena itu harus dibantah pendapat yang menyatakan CSR identik dengan
kegiatan sukarela, dan menghambat iklim investasi. CSR merupakan sarana untuk
meminimalisir dampak negatif dari proses produksi bisnis terhadap publik,
khususnya dengan para stakeholdernya. Maka dari itu, sangat tepat apabila CSR
diberlakukan sebagai kewajiban yang sifatnya mandatory dan harus dijalankan
oleh pihak perseroan selama masih beroperasi. Demikian pula pemerintah sebagai
agen yang mewakili kepentingan publik. Sudah sepatutnya mereka (pemerintah)
memiliki otoritas untuk melakukan penataan atau meregulasi CSR.
Dengan demikian, keberadaan perusahaan akan
menjadi sangat bermanfaat, sehingga dapat menjalankan misinya untuk meraih
optimalisasi profit, sekaligus dapat menjalankan misi sosialnya untuk
kepentingan masyarakat. Pengaturan mengenai tanggung jawab penanam modal
diperlukan untuk mendorong iklim persaingan usaha yang sehat, memperbesar
tanggung jawab lingkungan dan pemenuhan hak dan kewajiban serta upaya
mendorong ketaatan penanam modal terhadap peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan CSR secara konsisten oleh perusahaan
akan mampu menciptakan iklim investasi (penanaman modal). Anggapan yang
mengatakan bahwa CSR akan menghambat iklim investasi patut ditolak. Ada
kewajiban bagi setiap penanam modal yang datang ke Indonesia wajib mentaati
aturan atau hukum yang berlaku di Indonesia, apapun bentuknya. Indonesia masih
menjanjikan bagi investor dalam maupun asing. Sumber daya alam masih merupakan
daya tarik tersendiri dibandingkan negara-negara sesama ASEAN dalam
posisi Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM). Kondisi
tersebut dapat terwujud apabila diimbangi dengan manfaat dari kesiapan
peningkatan mutu infrastrukturt, manusia, pengetahuan dan fisik.
UU PM memberikan jaminan kepada seluruh
investor, baik asing maupun lokal, berdasarkan asas kepastian hukum,
keterbukaan, akuntabilitas, perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal
negara, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, dan keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional. [10]
CSR dalam UUPM dapat terlaksana jika dibarengi dengan lembaga yang kuat dalam
menegakkan aturan dan proses yang benar. Sebagaimana dikatakan oleh Mochtar
Kusumaatmadja, pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum
itu sebagai suatu perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur kehidupan
manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institutions)
dan proses (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam
kenyataan. [11]
Penutup
1. Kesimpulan
Berdasarkan latar
belakang dan pembahasan di atas maka kesimpulan yang dapat diambil dalam
tulisan ini adalah sebagai berikut : pelaksanaan CSR yang baik dan benar sesuai
dengan aturan hukum yang berlaku akan berimplikasi pada iklim penanaman modal
yang kondusif. Untuk bisa mewujudkan CSR setiap pelaku usaha (investor) baik
dalam maupun asing yang melakukan kegiatan di wilayah RI wajib
melaksanakan aturan dan tunduk kepada hukum yang berlaku di Indonesia,
sebaliknya pemerintah sebagai regulator wajib dan secara konsisten menerapkan
aturan dan sanksi apabila ada pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan yang
tidak melaksanakan CSR sesuai dengan ketentuan undang-undang yang
berlaku.
2. Saran-saran
a. Pemerintah perlu terus melakukan sosialisasi
kepada para pelaku usaha untuk menyamakan persepsi mengenai pentingnya CSR
dalam mewujudkan iklim penanaman modal di Indonesia.
b. Dibutuhkan konsistensi dan komitmen baik dari
pemerintah maupun pelaku usaha (investor) dalam melakssanakan CSR sebagai suatu
kewajiban hukum.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku - buku :
Dirjosisworo Soejono, Hukum Perusahaan Mengenai
Penanaman Modal, di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1999.
John Elkington, Cannibals with Forks,The
Triple Bottom Line of Twentieth Century Business, dikutip dari Teguh Sri
Pembudi, CSR, Sebuah Keharusan dalam Investasi Sosial, Pusat Penyuluhan Sosial
(PUSENSOS) Departemen Sosial RI, Jakarta, La Tofi Enterprise, 2005.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat
dan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, Bandung
Roscoe Pound dalam Mas Soebagio dan Slamet
Supriatna, Dasar-Dasar Filsafat, Suatu Pengantar ke Filsafat Hukum,
Akademika Presindo, Jakarta, 1992
Sonny A . Keraf, Etika BIsnis : Tuntutan
dan Relevansinya, Yogyakarta, Kanisius, 1998,
B. Jurnal, Tulisan Ilmiah dan Makalah
Gurvy Kavei dalam Teguh , Tanggung Jawab Sosial
Harus Dilakukan, Makalah pada seminar “Corporate Social Responsibility”:
Integrating Social Acpect into The Business, Yogyajarta,
2006.
Suprapto, Siti Adipringadi Adiwoso, 2006, Pola
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Lokal di Jakarta, Galang vol. 1 No. 2,
Januari 2006.
C. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas.
* Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Malang dan sekarang sebagai Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
[1] Suprapto, Siti Adipringadi Adiwoso, 2006, Pola
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Lokal di Jakarta, Galang vol. 1 No. 2,
Januari 2006.
[2] Gurvy Kavei dalam Teguh, Tanggung Jawab Sosial Harus
Dilakukan, makalah pada seminar “Corporate Social Responsibility”: Integrating
Social Acpect iinto The Business, Yogyajarta, 2006.
[3] John Elkington, Cannibals with Forks,The Triple
Bottom Line of Twentieth Century Business, dikutip dari Teguh Sri Pembudi,
CSR, Sebuah Keharusan dalam Investasi Sosial, Pusat Penyuluhan Sosial
(PUSENSOS) Departemen Sosial RI, Jakarta, La Tofi Enterprise, 2005, h. 19.
[4] Penjelasan Pasal 15 huruf b UU Penanaman Modal.
[5] Pascal 74 ayat (3) UUPT yang menyatakan “perseroan yang
tidak melaknakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
[6] Roscoe Pound dalam Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, Dasar-Dasar
Filsafat, Suatu Pengantar ke Filsafat Hukum, Akademika Presindo, Jakarta,
1992, h. 68.
[7] Sonny A . Keraf, Etika BIsnis : Tuntutan dan Relevansinya,
Yogyakarta, Kanisius, 1998, h. 122-127.
[8] Penjelasan Pasal 15 huruf b Undang-Undang No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal.
[9] Pernyataan Ketua Panitia Khusus UU PT Akil Mochtar .
[10] Pasal 3 UU NO. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
[11] Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan
Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, Bandung, h. 14.
No comments:
Post a Comment
moga bermanfaat ^,^